Rumah Depan, Serong Kanan
Empat tahun yang lalu, mereka hanya tampak seperti kawanan bocah yang riang disiram air dari langit. Hujan. Mungkin mereka memaknai hujan seperti halnya penduduk padang pasir. Begitu penting. Padahal mereka tinggal di ibukota. Di sebuah rumah kecil tanpa kakus. Di sebuah bangunan yang dihuni belasan anggota.
Rumah itu berukuran 4x10 meter. Triplek menjadi sekat untuk membatasi ruang menonton, ruang tidur dan ruang masak yang masing-masing tidak berpintu. Sebuah pompa jungkit tertanam di pojok ruang masak, dilengkapi lubang pembuangan limbah yang kecil. Itulah pojok mandi mereka. Tempat mereka memperoleh air sekaligus membersihkan diri tiap harinya.
Rumah itu telah menampung setidaknya tiga generasi keluarga. Nenek, anak-anaknya dan para cucu. Dan hari ini adalah hari mencuci baju. Pikirnya, betapa baik Yang Kuasa, mengerti jadwal mencuci kemudian mendatangkan air tanpa mereka harus memompa terlebih dahulu. Seiring datangnya gemuruh dan kilat bersahutan, para cucu mulai bersorak kegirangan. Melepas kutang, lalu jejogetan di bawah pancuran. Salah satu perempuan paruh baya tergopoh masuk ke dalam rumah komunalnya yang jengah itu. Keluar lagi sambil membawa ember yang terisi penuh pakaian kotor dan sabun batangan.
“Sono lu. Lu ke pancuran sono aja,” kata ibu tadi kepada anak-anak yang tengah asyik menggosok kepala satu sama lain. Mereka bermain salon-salonan. Lalu ia sendiri mulai sibuk mencuci. Mencuci, lalu setelahnya gosok gigi. Dengan air pancuran. Hingga kemudian hujan berhenti.
Saya selalu menonton mereka dari balik kaca jendela rumah. Pemandangan itu selalu membuat hati ini seperti dihujani gumpalan biang es. Seakan-akan saya ikut disegarkan oleh hujan yang membilas tubuh mereka. Namun di sisi lain, rasanya miris juga.
Empat tahun ini, saya absen ngeronda kaca. Ketika kembali ngeronda, sajian kisah melalui kaca jendela sudah banyak berubah. Tidak ada lagi anak-anak yang riuh mengerumun pancuran ketika hujan. Pesta hujan bisa jadi tinggal cerita masa lalu. Beranjak dewasa, mereka tak mau lagi menanggalkan kutang demi bermandi hujan. Pun bukan sekedar kutang lagi yang mereka pakai, melainkan seragam merah-putih, kemudian disusul seragam putih-biru. Bahkan ada yang sudah mengenakan putih-abu. Kesenangan baru menghinggapi mereka: duduk beramai-ramai saat malam, menghisap lisong dan membunyikan speaker ponsel kencang-kencang. Dari situ kadang terdengar lagu hits buatan dalam negeri. Kadang-kadang juga terdengar suara remaja akil baliq yang sedang seru merayu. Tak lupa disambut suara manja yang bersayang-sayangan mendayu. Ya. Mereka berpesta. Dengan cara yang berbeda.
Tapi toh pesta malam itu lama-lama hilang juga. Digantikan oleh muda-mudi yang beramai-ramai duduk memotong wortel bersama bibinya. Tidak lagi berangkat pagi dengan seragam sekolahnya. Yang satu mulai sebal dengan rumahnya yang sesak, lalu betah berlama-lama di tenda cuci-motor dekat rumahnya. Yang lainnya gemar menggelontorkan kaki sembari seru memainkan ibu jari pada ponsel buatan Cina yang besok dipakai gilir oleh adik atau sepupunya. Ibu dari salah satu mereka mulai berteriak geram setiap hari, “Lu mending kawin aja sono! Biar ada nyang ngurusin!”
Belakangan ini mereka baru keluar rumah ketika saya hendak menutup jendela menjelang senja. Tersadar saya bahwa kini mereka membubuhkan banyak perona pipi pada wajahnya. Kini mereka adalah kerumunan gadis remaja cantik yang kian berani menunjukkan belahan dada yang makin padat tiap harinya. Sebulan kemudian, terdengar cerita bahwa diantaranya sudah ada yang kaya. Menjadi populer di tempatnya bekerja. Sedang yang lainnya pulang ke rumah membawa bayi yang dua bulan kemudian tidak tercium lagi wangi minyak telonnya. Anak yang laki-laki hanya terkadang pulang ke rumah. Biasanya menjajakan botol-botol shampoo ukuran besar yang dijual setengah harga dari harga toko kepada siapapun yang mau membelinya.
--
Teteh Heni datang lagi ke rumah keluarga saya pagi ini. Menyeterika pakaian sambil berceloteh ringan menjawab pertanyaan ibu saya yang masih mengamati adegan jualan shampoo di depan rumah. Melalui kaca.
“Dijual berapa itu Teh?”
“Duapuluh rebu boleh dapet dua katanya.”
“Dapet dari mana lagi?”
“Alfamart, Tante. Nggak kapok dia mah. Pernah ketangkep padahal. Belon lagi kemarin RT dateng negur. Katanya, kalo rumah situ jual anak lagi, mau dilaporin ke polisi.”
“Lah jual anak juga? Trus yang narkoba?”
“Ya makanya pada takut kan mereka. Belon beres satu kasus, pada takut kalo dilaporin lagi. Padahal anaknya lagi pada banyak tuh, Tan. Pasti mau pada dijualin. Kalo Dimas nggak cacat juga pasti udah dijual kayak adek-adeknya.”
----------
Belum. Saya belum kapok ngeronda kaca. Lagipula mereka telah kembali. Anak-anak berkutang sudah kembali berkerumun di bawah pancuran. Namun mereka bukan anak-anak yang saya kenal. Entah siapa mereka. Ah, yang saya kenal malah ada di sana. Seorang gadis yang keluar dari hunian 4x10 meter yang kini menampung bukan tiga, namun empat generasi sekaligus di dalamnya. Jemari sang gadis melerai satu persatu rambut yang sekarang berwarna cokelat kemerahan. Gincu di bibirnya telah terbit dan saya terka pensil alis yang terlukis di alisnya akan keburu tipis sebelum ia sempat bertemu tamu pertamanya. “Heh! Mainan air aja terus lu! Gue gamau ngurusin kalo lu sakit!” dampratnya galak, menunjuk pada bocah ingusan di bawah pancuran. Saya terhenyak. Saya seperti melihat film yang sudah pernah saya lihat sebelumnya.
Widhaaaaaa... This is so cooool!!! Coba nerbitin buku deh! Pasti keren!
ReplyDeletehei kamu! masak aku baru baca. makasih ya cit. :D
Delete