Badai di Perduapuluhtigaan Jalan



 jutaan tetes hujan, masing-masing punya rasanya sendiri.
aku tak tahu, mana yang harus kutelan, mana yang harus kuabai..
........dan mana yang harus kutampung sebagai cadangan di hari nanti.



Pernahkah kau merasa dalam kondisi batin yang demikian acak? Demikian hingar bingar dan tidak pernah berhasil kau petakan? Upayamu telah ribuan untuk memadamkan gelora ketidakpastiannya. Namun semakin kau coba, hanyalah kian larut segenap belakamu ke dalam kuali kacau yang tak pernah kenyang?
Kau tidak menerima batinmu yang kelewat penuh oleh jutaan teluh. Lalu kau demikian gundah dan payah menyangkal bahwa dirimu tengah dihimpit racauan rasa yang sibuk memuaskan partikel-partikel ego dalam tiap pribadinya.
Masing-masing rasa sibuk berteriak. Sibuk memperkenalkan dirinya:
“Aku rindu!”
“Aku cemas dan ragu!”
“Aku si bungsu yang tak pernah kau aku! Namaku materi. Sejadi-jadinya kau pun mau!”
“Aku batu! Mengganjal harga dirimu yang ogah dirundung rambu!”
“Aku rasa malu. Rasa minor yang terlahir paling purba. Puji sembah, Posmodern membuatku tak binasa!”
“Dan jangan pedulikan aku! Aku sensitivitas akan rasa tiada berguna. Gagal menempa ilmu menjadi sesuatu yang nyata.”
“Aku cinta! Jangan bungkam aku. Toh kau selalu ingin aku manja!”



Dan tak ada obat yang lebih berguna dari itu semua.
Kecuali duduk di tepian simpang. Membaca tiap rasa dengan spesifik arah angin yang menjadi konsekuensinya.
Desau gemuruh itu.
Yang sungguhnya merupakan dawai-dawai halus yang lama tak kauurus.
Bila kau runut, hiruk pikuk pun melerai jinak menjilat gendang telingamu.
Membisik syahdu.
Menunjukkan jalan yang entah berujung ke mana.



Dan aku tak perlu bantuan siapapun.
Selain kepada diriku.
Kepadanya aku hanya perlu bercerita.
Mengenai muasal datangnya gemuruh yang demikian bertalu.
Lama kami berbincang.
Bersalaman dengan luka dan haru.
Berkenalan dengan gerowong jiwa yang mencelung digelondong waktu.
Merumuskan kompas ke mana arah tujuku.
Tak perlu kau.
Tak musnah aku oleh sengitmu.


Kini?


Masih terasa acak.
Petaku hanya sekedar wacana.
Kunikmati saja.
Jika tiada lagi misteri, akupun bisa jadi tuhan bagi diriku sendiri.






-24 November 2012, 4.49 -



Comments

Popular Posts