Kisah Penggali Sumur
Seorang sahabat berkata padaku, “Kamu seperti penggali sumur. Pula tanah yang kau gali langka akan air.”
“Lalu mengapa?” tanyaku.
“Kamu tahu penggali lain telah meninggalkan tanah galian mereka, namun kamu tetap di situ, menanti air memancar dari goa vertikal yang kau buat sendiri. Berharap air. Walau sedikit. Walau percikan dimulai pada meter ketigapuluh.”
“Walau rasanya mau mati saja, terhimpit tanah yang kian miskin oksigen.”
“Ya. Tipis bedanya antara teguh dan buang-buang waktu. Tanganmu pun sudah layu.”
“Biar. Tidak apa.”
“Penggali lain sudah bosan meneriakimu dari bibir goa. Mereka pergi satu-satu. Tidak ada lagi yang bersedia menanam tali pada pasak, satu-satunya elevator buatan bagimu untuk keluar dari senyap.”
“Dan rasanya menyakitkan. Hanya saja yang tampak hanya siluet kepala mereka. Aku tak pernah tahu apakah mereka sungguh pergi atau hanya menyingkir menghalau encok karena melongok ke bawah terus menerus.”
“Mereka pergi.”
“Biar. Saat muncul air, aku akan berenang ke atas, menumpang arus yang menggelegak ke bibir goa. Lalu mereka akan takjub pada kesungguhanku bertahan di kelembaban yang pedih.”
“Bisa jadi. Atau dapat pula kamu mati tenggelam di dasarnya.”
Aku membelalak.
“..kewalahan menahan arus yang durhaka pada penantinya.”
Kamar, 13 Februari 2012
02.14
Comments
Post a Comment