Mendoakan Saya?
Doa. Siapa yang tidak suka didoakan untuk suatu hal yang positif? Ketika berulang tahun, ketika dianggap berhasil atas suatu pencapaian, ketika sedang sedih, atau ketika manusia sekarat. Rasanya sungguh bahagia ketika manusia berhasil menarik perhatian manusia lainnya dengan bermodalkan kemalangan atau keberuntungan atas sesuatu. Karena jika sudah demikian, kita akan didoakan. Begitu pula saya, yang menurut manusia lainnya sudah berhasil mencapai suatu titik keberhasilan. Saya didoakan dan saya berbahagia karenanya. Tapi bolehkah..apabila saya merasa muak atas beberapa doa yang tampak serupa?
Ah. Bukan. Bukan. Hal yang membuat saya muak itu bukan doa, melainkan harapan. Harapan manusia-manusia lain atas saya yang dikemas sedemikian rupa sehingga menyerupai doa. Ya memang saya tidak mengetahui apakah bedanya antara doa dan harapan. Namun saya sering merasa dapat membedakan mana doa yang tulus mendoakan kebahagiaan saya dan mana yang tampak seperti doa yang berkeinginan mengatur kehidupan saya selanjutnya. Itu bukan doa. Itu seperti kuk yang dibebankan di atas pundak saya. Membuat saya putus asa ketika mendengarnya. Jadi, doa-doa kalian itu sebenarnya mau membebaskan atau justru mengikat saya? Demi keuntungan kalian ataukah demi keuntungan saya?
Saudara-saudara sekalian, tentu saya harus bekerja setelah ini. Betapa pun tidak realistisnya saya, yakinlah bahwa saya masih ingin jadi orang kaya. Baik secara materi maupun jiwa. Saya masih paham bahwa sebuah tiket kereta commuter line harus ditukar dengan uang enam ribu rupiah. Saya masih waras untuk mengingat bahwa harga tanah di bumi kian menanjak besarannya. Saya masih eling bahwa saya dibesarkan di keluarga yang tidak dapat dikatakan berlimpah dalam kapasitas ekonomi. Ya, saya akan bekerja. Tapi tidak terburu-buru hanya demi lembaran-lembaran kertas bertuliskan angka itu. Ya, saya bodoh dan menyusahkan. Tapi salahkah jika saya mengharapkan lebih dari itu? Saya memerlukan ketentraman hati yang siap beranjak. Beranjak dari pergumulan keseharian yang belum juga tuntas saya kelola. Beranjak dari hati yang belum mau bergerak. Banyak. Tapi tidak kalian ketahui.
Saya ingin memaknai bahwa pekerjaan itu hidup, di mana saya akan mengaktualisasikan diri sepenuh hati, bukan sepenuh dompet atau sepenuh rekening. Di mana saya akan dapat berguna, bukan demi tagihan restoran. Melainkan demi mereka yang bahkan diusir dari tangga restoran karena berpakaian tidak pantas dan selalu meminta-minta. Saya hanya mau bekerja ketika saya sudah siap. Sudah menemukan sebagian kecil dari apa yang kelak saya tuju dan bekerja demi hal tersebut. Saya ingin bekerja bukan karena pelarian, melainkan ingin menjadikan pekerjaan sebagai rekan berlari menuju mimpi saya. Kedengaran konyol? Saya tidak peduli.
Saya tahu kebutuhan hidup akan selalu mendesak manusia. Tenanglah, saya akan bersegera. Namun saya mohon, tunggulah saja. Tunggu hingga segenap wujud ini mau menerima. Menerima sistem kehidupan yang tak lepas dari dinamika uang dan relasi sosial. Sistem pekerja dengan balutan blazer, mata sayu, gusar sepanjang waktu, dan ponsel yang tak henti berdering. Ah. Sungguh sebenarnya saya tak ingin menjadi salah satu dari yang berkostum seperti itu.
Kalian bisa katakan saya pemilih. Bisa jadi, karena pengalaman menunjukkan bahwa kinerja saya akan lebih baik jika melakukan apa yang saya cintai, bukan sebaliknya. Dan menemukan sesuatu yang sungguh Anda cintai? Semudah apakah itu wahai para pecinta? Doakan saja saya bahagia. Itu akan mencakup semuanya. Sekali ini saja. Percayalah.
20 Februari 2012
Kamar, 11.39
Kamar, 11.39
Comments
Post a Comment