Ketika Saya Berjalan Kaki


Kalau di kisaran Salemba atau Cempaka Putih Anda bertemu seorang perempuan bercelana lipat selutut, berkaus kebesaran, menggendong ransel berwarna khaki, rambut awut-awutan, dan di tangannya tergenggam bungkus gorengan atau botol minum kotak dengan tutup biru, lalu sedang berjalan kaki menghindari lubang got, sudah hampir tentu itulah saya yang Anda temui. Ya. Saya gemar berjalan kaki. Bukan untuk window shopping seperti apa yang diterka oleh salah satu dosen saya. (Suatu hari kami sekelas diminta untuk menyebutkan hobi, kemudian saya mengatakan hobi saya jalan kaki, lalu dosen kami menafsirkan jalan kakinya perempuan adalah window shopping. Saya meralatnya, tapi beliau sudah terlanjur berasumsi. Yaaaaa..baiklah.) Maka sekali lagi saya tegaskan, jalan kaki versi saya berlokasi di trotoar, jalan beraspal, jalan pemukiman padat, gang, dan semacamnya. Window shopping bisa menjadi salah satu pilihan lokasi berjalan kaki juga, namun tipe yang satu itu cenderung saya hindari berhubung dompet saya sudah tipis tanpa perlu mengeluarkan apa-apa lagi dari dalamnya. Pun yang seringkali saya cari bukanlah hawa air conditioner ala mall, melainkan sinar matahari dan angin yang menyapa saya di trotoar ibukota.


Bagi saya, berjalan kaki adalah sebuah kebutuhan sehari-hari. Saya tidak ingat kapan persisnya saya mulai betah berjalan kaki lama-lama. Bisa jadi berawal dari hilangnya uang saku ketika saya masih kelas satu SMA. Karena enggan meminta lagi kepada orangtua, jadilah saya harus berjalan kaki sepulang sekolah. Untungnya teman-teman dekat saya ketika itu menganggap jalan kaki menemani saya adalah suatu keasyikan. Ada yang merasa asyik karena dapat ikut berhemat, namun ada pula yang merasa asyik karena memiliki tambahan waktu berkualitas untuk berbincang, membicarakan hal-hal yang lebih pribadi yang tidak bisa kami bincangkan di sekolah. Lama kelamaan, berjalan kaki menjadi hal yang rutin dan lumrah bagi kami. Tanpa jalan kaki ketika pulang sekolah, rasanya sisa hari terasa hampa. Heee. Maka inilah saya sekarang, keranjingan jalan kaki hingga sekarang, sementara rekan-rekan jalan kaki saya yang lain sepertinya tidak memiliki alasan yang cukup untuk berjalan kaki ketika kuliah dan bekerja, sehingga satu persatu dari mereka kehilangan kemampuan kaki baja-nya secara perlahan.


Jika demikian, berarti saya memiliki alasan untuk jalan kaki? Oh. Tentu saja. Banyak alasan untuk itu. Saya menemui banyak ‘medan nanggung’ ketika kuliah. Nanggung di sini maksudnya adalah, sayang banget ngeluarin dua ribu buat angkot cuma untuk jarak 200 meter! Meski kadang-kadang rasanya lelah luar biasa setelah berjalan kaki, rasanya puas bisa menghemat uang dua ribu rupiah. Sepele? Masih banyak lagi alasan sepele dan aneh lainnya. Makin lama, bukan uang dua atau empat ribu yang menjadi alasan saya berjalan kaki. Berangsur, ketika saya mulai mengalami masalah-masalah berat dalam keseharian, berjalan kaki menjadi ajang permenungan bagi saya. Dalam lima belas menit berjalan kaki, saya dapat melepaskan nafas saya yang terasa berat dan menggantikannya dengan udara bebas yang baru. Meskipun Jakarta dipenuhi debu dan asap, saya seperti selalu bisa menemukan udara yang lain, yang menjanjikan saya kelegaan yang luar biasa. Dengan berjalan kaki, saya memberikan waktu kepada diri saya untuk berpikir lebih jernih, mengolah kekayaan hari, mencari maksud dari sebuah masalah, lalu menyesapkannya lebih dalam. Bersyukur sekaligus menyesal dalam satu hembusan nafas.



Jalan kaki kian menjadi sebuah kenikmatan ketika saya sungguh menyadari bahwa jalan kaki adalah saat di mana saya dipertemukan dengan realita. Bagi saya, jalan kaki adalah sebuah peziarahan. Peziarahan tidak melulu hadir dalam kemasan yang ‘wah’ seperti bepergian dengan modal yang besar dan perencanaan yang matang, namun justru lebih sering hadir dalam spontanitas dan kesederhanaan. Karenanya, dari jalan kaki melewati trotoar, saya bergabung dan seperti tinggal dengan seorang bapak yang tergusur dari rumahnya sendiri dan kini menghabiskan waktu tuanya dengan berpindah-pindah halte. Karena jalan kaki, saya mencium bau busuk Kali Ciliwung yang melintasi Matraman dan Jalan Diponegoro. Di sisinya saya lihat gubuk yang didirikan paksa, lalu di sisi lain ada penjaja nasi goreng yang meletakkan meja makannya tepat di depan pipa. Enak nasi gorengnya! Juga saya merasakan kehilangan hak sebagai warganegara ketika trotoar digunakan sebagai parkiran mobil dan ‘jalur cepat’ para pengendara motor. Karena jalan kaki pula, saya digoda banyak mas-mas yang mengerjalan proyek pembangunan. Karena jalan kaki, saya menjadi saksi kecelakaan, kedinginan saat hujan, meninjau praktek prostitusi, ikut paham gosip rumah tangga, menikmati jajanan murah meski jorok, dan melihat banyak penjaja yang setiap hari sedih melihat jeruk dagangannya basah saat badai. Karena jalan kaki pula sepatu saya cepat aus, saya hampir masuk gorong-gorong karena luput melompat, dan menjadi musuh mobil-angkot-motor yang berusaha merebut hak saya untuk berjalan ketika lampu menyala merah.



Trotoar dan aspal. Bagi saya mereka hidup. Mereka menjadi saksi saya yang utama, yang menampung air mata saya setelah saya melalui hari panjang yang menyedihkan. Juga pada saat saya mengalami hari yang menggembirakan, saya akan memilih berjalan kaki setelahnya untuk kembali menetralkan suasana hati, supaya diri ini tidak kaget ketika harus berhadapan lagi dengan banyak hal yang pahit. Mereka membantu saya beradaptasi, manapaki yang nyata, mencari keseimbangan. Mereka seperti sahabat yang mau menerima saya, bahkan ketika saya sengaja mengulur waktu untuk pulang ke rumah atau tidak tahu harus ke mana. Sekarang teman saya tidak hanya trotoar dan aspal, tapi juga pohon-pohon dengan daunnya yang tertiup angin, ramah melambai pada sudut mata saya yang basah. Mereka seperti berbahasa. Mereka menghibur dengan caranya. Dan saya selalu rindu pada cara mereka. Apa adanya tanpa tatapan yang menghakimi. Kelamaan, saya seperti ketagihan berjalan kaki. Berangsur, saya menambah rute dan waktu tempuh berjalan kaki. Rasanya nikmat. (Agak nyontek dari tagline sebuah gerai makan Jepang, “Selalu ada alasan untuk berjalan kakiii!!”)



Saya suka sekali berjalan kaki.



Berjalan kaki itu ziarah.



Miniatur kebahagiaan.








Ini adalah salah satu foto yang saya ambil sembunyi-sembunyi dari seberang Megaria. Perhatikan.
Bapak tua di halte adalah seorang yang selalu menarik perhatian saya. Empat tahun lalu ia berpakaian rapi,
bersepatu pantofel, dan memakai jam tangan mengkilat. Namun, Ia selalu berdiri di samping halte dan di dadanya tergantung papan bertuliskan "Tolong Saya." Sementara itu di pundaknya tergantung tas bepergian yang berisi pakaian. Rupanya Ia bermaksud menjual semua barang miliknya untuk mendapatkan uang. Ketika itu saya ngeri menyapanya, namun ketertarikan saya akan bapak tersebut kian kuat karena secara berkala, kekayaan yang tampak dari penampilannya berangsur menurun kualitasnya dari tahun ke tahun. Maka sekali waktu saya sengaja mendekatinya dan bertanya tentang kisah hidupnya. Bapak tersebut tampak sangat skeptis ketika melihat saya mulai bertanya macam-macam. Namun, saya akhirnya mengetahui sedikit kisah hidupnya. Bapak ini digusur semena-mena dari rumahnya di Paseban. Karena tidak memiliki sanak, Ia pun memilih untuk meminta pertolongan dari orang di jalan supaya mendapatkan dukungan baik moral maupun material untuk kembali mendapatkan hak atas tanah dan rumahnya. Sayangnya usahanya bertahun-tahun tidak membuahkan hasil. Bapak ini menjual semua miliknya, dan kini bergantung pada kebaikan dari sebuah rumah peribadatan di daerah Kramat yang bersedia menampungnya jika malam. Ya. Jika malam. Siang hari adalah waktu baginya untuk berkeliling dari satu halte satu ke halte lainnya. Untuk tidur, melamun, dan berharap. Namun tidak meminta. ia hanya berbicara lewat mata dan papannya yang terus berharap.


Perlu waktu empat tahun bagi saya untuk berani menyapanya. Bisa jadi sebagian besar dari pejalan kaki saat itu juga terlalu takut untuk menyapanya. Mungkin karena kita terlalu dikuasai oleh persepsi tentang demikian seramnya jalan di ibukota. Karenanya, Bapak ini terlambat menyelamatkan haknya.

Lalu bagaimana dengan Anda?

Mari turun dan berjalan kaki, lalu lihatlah sendiri contoh-contoh yang lain.


Masih ada banyak hal yang disajikan dan dijanjikan oleh jalanan selain kriminalitas dan debu.





Kalau di jalan bertemu saya, disapa ya! J
(meski mungkin saat itu saya lagi nunduk sambil berderai air mata) :D







Kamar, 12 Maret 2012
Pk. 00.40


Comments