Diguyu Penjual Sepatu (Pesan Diterima! 3)

Jika kamu diberi kesempatan untuk mengucapkan ‘amin’ untuk sebuah doa yang sesuai harapanmu, akankah kamu memanfaatkan kesempatan itu?
Itulah pergumulan saya, duabelas jam yang lalu.

Tulisan ketiga ini (tulisan pertama dan kedua adalah dua tulisan saya di bawah, sebelum tulisan ini) adalah tulisan yang paling susah saya buat dari dua tulisan sebelumnya. Pagi ini saya tidak bangun. Kerinduan saya akan misa (lihat tulisan pertama) lagi-lagi tidak dapat dipenuhi di akhir pekan ini. Seperti biasa, kita masih saling menelepon hingga ketiduran. Ponsel saya mati karena saya rindu kamu, dan kamu masih membuat saya senang karena kamu menggenapi rindu saya dengan menelepon hingga kita berdua ketiduran, lalu baterai ponsel saya habis. Alarm tak berbunyi, lalu jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas pagi ketika saya bangun di Hari Minggu ini. Teringat saya, akan tumpukan baju bekas hasil berburu di Senen dan Pasar Baru yang sejak dua minggu lalu belum dicuci. Teringat pula saya, akan janji pukul satu dengan dua junior teater, yang minta diantarkan membeli alat-alat rias. Sementara itu bapak dan ibu baru saja pulang misa sambil berteriak, “Batagor!!” Mereka menenteng oleh-oleh dari gereja. Saya seharusnya mulai mencuci, lalu segera bergegas ke Pasar Baru. Tapi..Ah ngemil dulu ah.

Baru saja sukses mengalahkan rasa malas mandi dan rasa sedih karena tak jadi mencuci (tidak keburu!), junior saya mengabarkan mereka telah tiba di lokasi. Bersamaan dengan itu, kamu mengabari saya bahwa tas kamu jebol. Dasar dodol. Saya sudah bilang berkali-kali, tas yang satu itu jangan dipakai lagi. (Kepergian mendadaknya ke Jogja pagi hari itu, yang membuat saya kaget, tambah dibuat heran dengan kabar bahwa tas yang biasa dipakainya untuk bepergian makin besar kerusakannya. Resletingnya menganga tak bisa disatukan. Bisa jadi pakaian yang dibawanya jatuh semua.) Sembari berkirim pesan denganmu, saya sudah naik angkot 04 menuju Salemba, lalu rencananya akan bablas Pasar Baru. Saya sedang terburu-buru. Angkot itu penuh dengan orang-orang yang sepertinya tak terima dengan kehadiran saya yang mengenakan celana pendek, menyandang tas besar, dan gesture-nya serba memburu. Saya tengah menuju lokasi pertemuan dengan para junior ketika kamu mengirim pesan lagi, menyatakan bahwa kamu serius ingin meminjam tas saya untuk dipinjam ke Jogja. Saya kira kamu bercanda. Saya sudah hampir sampai Salemba, hingga saya memahami bahwa kamu tak bercanda: kamu butuh pinjaman tas. Saya putuskan turun dari angkot, mengambil sebuah tas ke rumah, lalu berkali-kali memohon maaf pada kedua junior, bahwa saya tak jadi menemani mereka hari ini.

Kamu ada di bawah pohon. Teduh sekali, membuat aku ingin bergabung, menggelar taplak kotak-kotak, menaruh rantang, lalu makan sambil bermanja di bahumu. Tapi sayangnya itu pohon di terminal. Dan kamu tidak sedang ingin piknik, melainkan ingin segera memindahkan isi tasmu yang sudah dimuntahkan oleh tas jebol itu, ke tas yang kubawa untukmu. Kamu bilang kepergianmu kali ini rahasia, maka aku tak boleh tahu peruntukannya. Tapi kulihat bawaanmu hanya pakaian dementor warna gelap itu, maka aku tak perlu bertanya lagi apa tujuan kepergianmu ke Jogja. Ah, bisa jadi kamu sedang bermaksud menjaga perasaanku dengan tidak menceritakan maksud kepergianmu selama tiga hari ini. Akhirnya kamu menyandang tas milikku. Bawalah sebagian hartaku. Kamu tak perlu bersalah karena membawa harta, karena itu hartaku. Anggap saja itu titipan yang harus kau kembalikan. Begitu pula hatiku. Kelak harus kau kembalikan jika tak ingin dan tak bisa menyatu.

Kamu lapar, saya lapar. Saat mendiskusikan akan makan di mana, seorang bapak penjual sepatu pria yang riang, datang menemui kita. Ia merayu kita untuk membeli sepatu yang Ia bawa.
Katanya ini cocok untuk mas.
Kamu bilang, tidak pak, terima kasih.
Katanya pada saya. Beli, Mbak.. Buat pacarnya.
Saya hanya tersenyum canggung, tanpa sadar kita berdua saling pandang. Ada seberkas tanya dan senyum tidak yakin dalam matamu, dalam mata saya.
Si bapak mulai bingung, bertanya. Ini benar pacarnya kan?
Saya mengiyakan dalam hati.
Saya tak tahu kamu berucap apa dalam hati.
Lagi-lagi tak ada kejelasan di matamu, mata saya.
Pertanyaan si bapak mulai tampak seperti pertanyaan SPMB yang tak kita tahu jawabnya.
Katanya sekali lagi. Beli, Mbak.. Buat suaminya.
Sekali ini kami berdua tergelak.
Si bapak menjadi bingung. Lho iya kan. Nanti kan bakal jadi suami istri. Sekarang pacaran dulu. Wajar itu, memang harus pacaran dulu.
Tanpa kami sadari, si bapak baru saja mengingatkan kami tentang materi pelajaran Agama Katolik kelas satu SMP. Kami Katolik. Tapi teori yang satu itu terasa asing sekali bagi kami. Saat ini.

Ini bisa dipakai jalan-jalan, Mbak. Dipakai nikah, pakai kain juga bisa. Buat ke KUA juga bisa. Cakep nih. Kata si bapak terus merayu.
Ya kan? Nanti nikah di Jawa?
Sembari menggeleng, mau tak mau hati ini mencelos juga.
Ada kata ‘amin’ yang takut. Ada amin yang melayang. Satu senti dari tanah.

Kamu hanya tertawa.
Aku hanya tersipu.
Aku tak paham tawamu.
Kamu tak paham sipuku.
Ada jarak di antara tatapmu, dan tatapku.
Jaraknya lebar sekali.
Mungkin karena itulah. Tak ada bola mata yang terselami.
Hanya saling mengagumi.

Malamnya, ketika Ia sudah mulai terlelap di kilometer sekian menuju Jogja, saya masih saja ada di Jakarta. Saya berdandan. Saya akan datang kondangan. Orang-orang di sana banyak mengucap doa untuk mempelai. Ah sedapnya. Saya iri. Di sana ada banyak doa yang bisa diamini. Tanpa perlu berpikir lagi.


8 Okt 2013

Diselesaikan tanggal 20 Okt 2013

Ada amin. Yang asyik melayang.
Ada amin. Yang bertualang di atas awan.

Comments

Post a Comment