Pesan Diterima! (2)

Ada banyak potongan narasi yang sering saya kutip sebagai dalih pembenaran argumen saya.
Namun untuk kisah ini, saya teringat gagasan dari Ayu Utami tentang kebetulan (yang terpapar melalui bukunya yang berjudul Manjali dan Cakrabirawa) dan lontaran kata Rm. Markus Yumartana (Rm. Yu), bahwa di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Dan oh, satu lagi kata-kata Rm. Yu, bahwa iman selalu paradoksal. Ya, ada dua hal besar yang saya olah dalam cerita ini: perihal kebetulan, dan perihal iman yang paradoksal.

Setelah sentuhan-sentuhan kecil Jumat lalu (lihat tulisan sebelumnya), saya perlahan kembali. Saya kembali memperhatikan detail-detail kecil dalam keseharian saya. Saya merasa disentuh lewat berbagai perjumpaan, berbagai diskusi dan candaan, serta peristiwa-peristiwa lain yang bahkan sulit saya kategorikan.

Akhir pekan ini saya benar-benar bisa libur. Tak ada tugas liputan. Tak ada pekerjaan sambilan yang harus saya kerjakan. Seharusnya saya bisa selonjoran santai sambil mengamati keganjilan-keganjilan yang terjadi di depan rumah serong kanan. Seharusnya saya bisa keluar rumah, lalu menunaikan cita-cita saya mengisi buku sketsa. Namun, Sabtu dan Minggu saya sudah penuh terisi. Setelah melewati kedua hari tersebut, kini kepala saya ikut terisi. Penuh sekali. Sampai-sampai saya harus menulis refleksi ini.

Sabtu pagi saya berjanji dengan tiga orang teman untuk tiba di Taman Topi, Bogor, selambat-lambatnya pukul sembilan pagi. Apa daya, pukul lima saya terbangun hanya untuk mematikan alarm, lalu baru benar-benar tersentak bangun pukul tujuh pagi. Pada pukul tersebut seharusnya saya sudah berangkat ke Stasiun Tebet, untuk menumpang Commuter Line menuju Kota Hujan. Memasukkan kostum dan alat rias dengan asal-asalan adalah satu-satunya pilihan. Pukul delapan, saya baru berangkat menuju Stasiun Tebet, menunggu seorang teman menyelesaikan pembelian rokok, lalu kami bergegas masuk gerbong.

Berdua dengan teman lelaki saya yang satu ini sebenarnya bukan hal yang spesial. Namun untuk apa kami datang ke Bogor, itu adalah hal yang membuat perjalanan ini terasa spesial. Kami memang sudah berjanji dengan Am dan Ad untuk bertemu di Taman Topi, untuk kemudian bersama-sama menuju Kebun Raya Bogor, melaksanakan rencana kami untuk melakukan sesi pemotretan. Pemotretan pre-wedding. Untungnya bukan pre-wedding sungguhan. Saya dan teman lelaki saya akan berpura-pura seperti sepasang kekasih, lalu difoto oleh Am dan Ad, yang memiliki usaha jasa potret. Kali ini mereka ingin memiliki koleksi foto pre-wedding untuk katalog jasa mereka. Saya dan teman lelaki saya awalnya santai saja, namun mendekati Kebun Raya Bogor, kami mulai kebingungan. Bingung bagaimana caranya berakting menjadi seasang kekasih. Kami sama-sama terlambat bangun. Sama-sama belum melek. Sama-sama mati rasa satu dengan yang lain.

Nah, nah. Tapi kita lewatkan saja sesi pemotretan yang agak kaku pada mulanya, namun lebih luwes menjelang akhir sesinya. Yang ingin saya tuliskan justru lebih kepada kesan saya atas momen ini: pre wedding. Saya terkagum-kagum pada sensasi menjadi calon pengantin. Berkali-kali saya tidak habis pikir, betapa ini tahapan hidup yang sungguh asing dan rasanya belum ingin saya jelajahi. Ada satu kerinduan dalam yang kadang mengusik hati saya saat sesi pemotretan ini berlangsung, namun ada pula rasa ragu yang membuat saya kesulitan berkonsentrasi untuk berakting menjadi calon pengantin perempuan yang sedang antusias menyambut pernikahannya. “Oh, begini tho rasanya mau jadi manten. Kok rasanya aneh,” ungkap saya pada Am dan Ad. Semilir getir rajin menyambangi saya, membuat bergidik.

Dan perlahan bayanganmu tampak. Mungkin rasa rindu itu adalah sekelebat ingin, untuk melihat kamu terbalut kostum yang sama persis dengan yang dikenakan pasangan bohongan saya, yang sedang berusaha tersenyum lumrah di depan kamera. Mungkin sekelebat ingin itu pula yang membuat saya ngeri untuk bersanding dengan orang selain kamu di kemudian hari nanti. Ah tapi bukan itu. Tidak, rasa getir ini tidak sedangkal itu. Ini lebih kepada konsep pernikahan yang masih buram di kepala saya. Betapa pasangan kekasih rela bangun pagi-pagi untuk pre-wedding, repot-repot memilih tema, berpose berpanas-panasan untuk mengabadikan masa pacaran yang kelak bisa dikenang. Dan oh! Pasangan bohongan saya seringkali tampak kurang antusias, tidak sebanding dengan saya yang karena rindu teater, berusaha mati-matian untuk menjiwai peran saya sebagai calon pengantin perempuan yang gembira. Ketimpangan sikap tersebut membuat saya tampak seperti calon pengantin perempuan yang ngebet, bahagia, berhasil memaksa calon pengantian pria untuk berkomitmen, untuk menikah dalam ikatan sehidup semati. Sebaliknya? Pasangan saya lebih mirip seperti calon pengantin pria yang terjebak dalam kurungan ayam, bermuka masam karena dia berhasil dipaksa pacarnya (dan keluarganya) untuk mengadopsi komitmen yang lebih serius: pernikahan. Ketika melihat hasil gambar, batin saya bersuara, ‘gambar seperti ini kok tidak asing. Sebelumnya gue pernah lihat foto pre-wed yang menampilkan muka murung si cowok, dan muka gembira si cewek.” Kecewa, saya bertanya pada Ad, “Kenapa foto pre-wed sering begini sih wujudnya? Kenapa muka cewek hampir selalu kelihatan centil kegirangan yak? Sementara si cowok kayaknya cool-cool aja tuh. Kayak gak antusias nikah.” Ad hanya mengangguk, mengiyakan. Ia tak tahu alasannya, tapi Ia sendiri mengaku, beberapa pemotretan pre-wedding yang ditanganinya sering menghasilkan foto yang serupa. Tegas, saya membatin lagi, ‘Pokoknya gue nggak mau nikah sama cowok yang merasa terpaksa sama pernikahan dan pre-wedding. Enak aja, kesannya gue yang ngebet.’

Ya, ya, ya. Jalan hidup yang satu itu itu menarik dan tak pernah tuntas dibahas. Apalagi tanpa kamu di sisi saya, menemani saya menempuh jalan itu. Tanpamu, saya menemukan diri saya yang makin skeptis, entah mengapa. Dan tak ada yang perlu disalahkan, sayang. Bukan, bukan. Seharusnya saya mengatakan hal tersebut pada diri saya sendiri. Tak ada yang perlu disalahkan, hai jiwaku.

Hari itu baru pukul empat. Namun langit Kebun Raya Bogor rasanya terlalu banyak menyimpan muatan. Muatan air. Hujan segera datang. Kami berteduh di sebuah tenda tengah lapangan. Saya tiba-tiba teringat buku sketsa, saya ambil, dan coba menorehkan satu dua garis, untuk membuat siluet jajaran pohon kebun raya yang kokoh. Belum sempat menarik garis, gelegar petir menyambar pohon tepat di samping tenda kami. Ketakutan, Am yang juga sedang berusaha membuka bekal makan sore, segera memasukkan kembali kotak makannya, menyarankan supaya kami pindah tempat berteduh. Setelah kami pindah ke depan toilet (satu-satunya bangunan permanen terdekat yang bisa kami tumpangi), kami menyantap bekal sambil berdiri, saling oper kotak makanan, berkerumun berempat, supaya hawa terasa hangat. Lebih sayang kepada sandal cantik saya daripada kaki, saya tanggalkan sandal saya, lalu melanjutkan makan dengan kaki telanjang. Basuhan air dingin di kaki, perut yang kenyang, kebersamaan yang hangat, redanya hujan dan segarnya udara setelah hujan benar-benar membuat saya ingin berteriak keras. Ah saya rindu udara bebas yang menyegarkan ini! Kami keluar dari komplek Kebun Raya Bogor dengan diiringi oleh hujan yang masih merintik. Saya sendiri terharu berjalan di bawah lindungan selendang, menghirup dalam-dalam udara kebebasan yang tidak dapat lagi saya hirup esok lusa. Baju saya kemudian makin basah. Hujan belum benar-benar reda. Sama seperti keyakinan saya akan kita.

MASIH ADA TEMPAT.
Saya lelah. Hari itu saya lelah karena basah. Commuter Line membawa saya yang tertidur hingga terantuk berkali kali. Walau lelah, saya masih punya satu agenda malam itu: menonton pembacaan puisi di Salihara. Pasalnya, malam tersebut akan hadir puitisi (haha) kesukaan saya: Joko Pinurbo. Begitu sampai Stasiun UI (pasangan bohongan saya melanjutkan perjalanan pulangnya kembali ke Stasiun Tebet, sementara Am dan Ad turun serta di Stasiun UI karena motor mereka diparkir di situ), gelombang rasa malas menyerang saya. Wajar kan? Kelelahan, mengantuk, rias dan kostum saya pun masih melekat.Untung ada seorang teman semasa kuliah dulu yang ingin ikut datang ke Salihara. Beruntung, kami diizinkan masuk ke dalam ruang pertunjukan meski kami datang terlambat dan belum melakukan pemesanan tempat sebelumnya. Panitia mengizinkan kami masuk, namun kami harus duduk di lantai, tepat di bibir panggung, karena tak ada lagi kursi untuk kami. ‘Tak masalah. Saya malah bisa menatap lekat penyair idola saya dari dekat,’ batin saya.

Ruangan gelap itu pertama-tama menggaungkan musik milik Sarasvati. Grup ini membawakan lagu-lagu dengan selera yang.. haduh. Kalau dibahas, bisa memakan banyak halaman. Pokoknya unik dan membuat tercengang. Di tengah rasa tajub saya akan grup musik yang sedang tampil, baru sadar saya, tepat di sebelah kiri saya, duduk Joko Pinurbo, membuat saya ingin melonjak riang saat itu juga. Kemudian, pembacaan prosa pun dimulai. Bamby Cahyadi, Deddy Arsya (penyair yang setelah saya pulang dari Salihara langsung saya cari tahu puisi-puisinya di Google), Maria Peura, dan tentu saja: Joko Pinurbo. Keempatnya membaca karyanya masing-masing. Kunjungan saya ke Salihara kali ini demikian berkesan, karena selain dapat meyaksikan sendiri Joko Pinurbo membacakan puisi-puisinya, juga karena jiwa saya baru kembali peka Jumat lalu. Karenanya, saya menikmati betul sendu mendayu yang melenakan dari syair-syair lugas yang dibacakan malam itu. Rasanya seperti kembali pulang. Kembali menjamah ruang-ruang hati yang beberapa bulan ini terkunci. Rasanya mungkin seperti menggaruk gatal setelah lama mati rasa. Nikmat sekali. Terlepas dari syair Joko Pinurbo yang romantis asyik, saya merasa terharu. Terharu karena rindu.

Perjalanan dari Depok menuju Salihara dan dari Salihara ke Pasar Minggu malam itu menjadi berwarna karena Ra (teman kuliah saya dulu) menemani saya. Saya menanyakan kelanjutan rencana keberangkatannya ke Perancis untuk studi. Ra mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi di sana. Tak hanya itu, lebih dari satu universitas di lokasi tujuan telah menerimanya, termasuk salah satu universitas yang tidak hanya ternama di negara tersebut, namun juga di dunia. Namun sayang, universitas populer tersebut mengharuskan calon mahasiswa dari luar negara untuk sanggup berbahasa Perancis hingga level sekian. Dalam waktu singkat, akan sangat sulit bagi Ra untuk memenuhi syarat tersebut. Maka Ra mengambil undangan dari universitas lain yang syarat berbahasanya lebih rendah daripada si universitas populer tadi. Yang membuat saya terkesan pada perjumpaan dengan teman lama ini adalah kisahnya tentang universitas populer yang sulit digapainya tersebut. “Nama fakultasnya Fakultas Peradaban. Yang dipelajari luas, bukan satu disiplin ilmu, melainkan semuanya dipelajari. Saya juga bingung email-emailan sama profesor yang nerima saya. Bahasanya aneh, omongannya ngalor ngidul, kayak nggak nyambung, tapi nyambung! Di sana, arsitektur nggak harus dipelajari di ranah teknik, tapi bisa di ilmu sosial. Kata Pak Na (dosen favorit kami dulu), ini berkah buat saya. Kampus itu memberi perspektif yang berbeda. Ilmu yang dipelajari lintas batas, mengawang-awang tapinya. Bukan terapan,” papar Ra panjang lebar, membuat saya melongo terkagum-kagum di dalam angkot menuju Salihara.

Obrolan satu ini membuat saya tertegun untuk kesekian kalinya hari ini. Betapa hari ini, terselip banyak pesan tentang jalan hidup. Saya diingatkan pada minat lama saya, di bidang akademis. Keingintahuan akademis saya bergelora ketika mendengar paparan Ra yang berapi-api. Betapa saya hanya ingin belajar, belajar, dan belajar lebih lagi, tanpa harus direpotkan oleh kebutuhan mencari uang dan kebutuhan memenuhi tuntutan sosial.

Mendengar Ra, saya tercenung dan hampir menangis, ternyata masih ada tempat untuk impian saya di dunia ini. Lulus sarjana, saya merasa seperti orang yang gagal. Gagal memetakan minat saya, gagal membuat fokus untuk karir dan studi saya. Beranjak dewasa, saya menyadari bahwa saya ini orang yang banyak mau. Banyak suka. Banyak impian. Tapi sulit memilih salah satunya. Saya suka isu sejarah, sosial, politik, kebudayaan, seni, arsitektur, filsafat, dan lain-lain. Saya suka berenang, melukis, berteater, menulis, duduk merenung sampai ketiduran. Saya mau kuliah sejarah, antropologi, arkeologi, seni peran, seni lukis, filsafat, dan lain-lain. Saya banyak mau, namun seringkali berakhir dengan tidak tahu. Tidak tahu mau mulai dari mana dulu. Tidak tahu mau fokus ke yang mana dulu.

Universitas yang diceritakan Ra, buat saya seperti tambahan dongeng malam menjelang tidur. Menambah kepercayaan diri saya untuk terus bermimpi. Ada suatu tempat di luar sana, yang mungkin tidak akan mengejek saya untuk menyenangi banyak hal sekaligus. Ada komunitas di luar sana, yang mungkin punya lompatan minat yang tidak runut, susah fokus, dan ingin mempelajari banyak hal dalam cakupan yang besar. Di perjalanan pulang menuju Salemba malam itu, saya bersyukur sesungguhnya saya masih punya tempat di tengah kegamangan ini. Untuk merealisasikan mimpi. Sama ketika saya datang ke Salihara: terlambat dan belum memesan tempat duduk, namun dipersilakan masuk, duduk di bibir panggung, dan duduk berdekatan dengan penyair favorit saya. Mungkin harapan yang terpenuhi itu sama seperti mengirim Whatsapp kepada seorang teman sepulangnya saya dari Salihara, mengajaknya makan pukul sebelas malam karena di rumah saya tidak tersedia makan malam. Lalu dia membuka pintu kost-nya bagi saya, membelikan saya nasi goreng meski dirinya sudah mengantuk dan tunai makan malamnya. Kemudian diantarkannya saya pulang ke rumah, meski dirinya sudah terlelap ketika saya menyantap nasi goreng yang kadar pedasnya agak berlebihan untuk saya.


Bukti bahwa harapan selalu ada. Tempat untuk saya masih ada. Ini semua, bukan kebetulan kan?



Ruang tengah, 7 Oktober 2013

Pk. 2:58
Pernah saya bertanyam "Asu itu apa, Yah?"
"Asu itu anjing yang baik hati," jawab Ayah.
Kemudian ganti saya ditanya,
"Coba, menurut kamu, asu itu apa?"
"Asu itu anjing yang suka minum susu," jawab saya.

Comments

Popular Posts