Pesan Diterima!
Saya sudah terlalu banyak
lupa.
Lupa menulis untuk blog ini.
Lupa pada mimpi saya. Lupa pada kamu. Apalagi Kamu.
Saya lupa rasanya disapa
daun, lupa rasanya dibelai angin.
Saya banyak lupa. Selama
beberapa bulan ini.
Hingga Jumat kemarin.
Jumat lalu saya menyempatkan
diri berjalan kaki ke Sarinah. Profesi baru saya (kalau bisa disebut baru),
mengharuskan saya berkeliling ke berbagai pusat perbelanjaan untuk mencari
barang-barang unik yang dapat direkomendasikan kepada pembaca. Salah satu
redaktur menyarankan saya untuk datang ke Sarinah. Di sana ada satu toko yang
menyimpan banyak harta karun. Dan benar saja, di sana saya menemukan
kotak-kotak kaleng bersablon motif-motif vintage dan perlengkapan pesta kostum
yang belum pernah saya temukan sebelumnya. Namun poin kisah ini bukanlah
tentang toko tersebut. Kisah ini dimulai justru ketika saya pulang dari
Sarinah, kembali menuju markas.
Alih-alih menumpang Metro
Mini, saya memutuskan untuk (lagi-lagi) berjalan kaki sembari menikmati angin
sore. Dan ah! Teringat saya bahwa koleksi lagu di ponsel saya sudah lama tak
bergaung di telinga. Headset langsung
memperdengarkan lagu Naif begitu saya menyambungkannya ke ponsel. Sore itu
pukul lima. Mentari sudah mulai membagikan warna oranye manis di kejauhan.
Angin sepoi yang semula saya kira terhembus dari arah Jalan Thamrin ternyata
berasal dari sebuah gedung di sebelah kiri saya. Gedung itu Gereja Santa
Theresia. Saya trenyuh, entah mengapa. Bersama angin, berhembus pula rasa
rindu. Rindu yang tidak terpenuhi. Sejak lama.
Berjalan sepuluh, duapuluh
langkah, saya lantunkan syair Naif perlahan. Pekerja bangunan tampak di
kejauhan, mungkin heran, mungkin bingung. Entah karena mulut saya yang
mengatup-buka karena sedang bernyanyi, ataukah karena rok kulot produk poncol
saya yang kini jarang dikenakan. Sudah berhati-hati saya ini. Namun kepala saya
masih saja beradu dengan rimbunnya daun palem dewasa yang dahannya menjuntai
rendah. Anehnya tidak sakit. Anehnya daun-daun tersebut lebih terasa seperti
membelai daripada menampik wajah saya. Air mata saya ingin jatuh, entah
mengapa. Lalu saya tak ingin menyeka wajah saya yang baru saja bersinggungan
dengan dahan kusam. Anehnya saya malah tersenyum, sembari mengucap, “Terima
kasih.”
Di trotoar, lima langkah di
depan, seseorang menuliskan pesan dengan cat putih. Eh benarkah itu cat?
Sepertinya begitu. Terbaca, “Menuntut kesadaran berbangsa dan bernegara.”
Saya tertegun, lalu mengamatinya, kemudian memotretnya, penuh tanya. Sayakah
orang yang ditegur oleh tulisan ini? Apapun maksud sang penulis, saya
berefleksi karena tulisannya. Ya, saya merasa tertuntut, dan juga tergerak.
Bukan untuk bersikap, namun tergerak untuk mengolahnya. Mengolah mimpi dan cita
yang dulu pernah ada.
Langkah saya makin ringan.
Masuk ke markas, sebuah gedung di Imam Bonjol, lantai 14, saya merasa penuh.
Penuh kepekaan yang dulu selalu melingkupi saya, namun hilang belakangan ini.
Saya mencarinya ke mana-mana, dengan berbagai cara, di mana dan kapan saja.
Saya tempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki untuk menemukannya. Entah
mengapa ia baru bersedia muncul Jumat lalu. Saya merasa menjadi manusia lagi.
Di lantai 14, terlihat latar
cantik mewarnai kaca jendela: matahari senja yang masif menyambut saya. “Banjir
sinar!” seru saya penuh haru.
Terima kasih telah menyentuh
saya lagi.
Kisah saya akan dimulai
lagi.
(Berlanjut ke cerita
selanjutnya)
Ruang depan, 7 Oktober 2013
00:47
cat putih?
Comments
Post a Comment