Sejak Kapan Boneka Boleh Rewel?
Onggokan kapas di sudut kamar. Disebutnya Ia sebagai boneka. Digoyangkan kakinya bila Ia lara, dipeluknya mesra bila sedang duka. Onggokan warna di pojokan rindu. Melesat mengitari sunyi, ramaikan tengah malam seperti penjaga gardu. Dianggapnya Ia sebagai boneka. Diajaknya bicara bila sedang terpaksa, diajaknya bercanda bila kurang asupan gula.
Boneka hampiriku suatu senja. Minta kubawa pergi, lalu berlari. Mengaduh pada lusuh yang melekat di suatu subuh. Boneka merasa punya hak untuk rewel, merongrong saat tuannya tak pernah lagi berduka. Setidaknya itu yang ada dalam kepalanya. Untuk kesan yang bau tengik di setiap hari jumpa. Untuk setiap untaian detik yang tergelar dua tahun lamanya.
Lenguhan lelah adalah milik boneka. Ada bocoran genting yang tembusi pojok hati, membiarkan tetesan hujan yang juga lelah turun pasrah minta direngkuh. Minta diserap, minta disayang. “Aku basah, tolol!,” seru boneka putus asa, terpaksa merengkuh tetesan yang kini seember banyaknya. Hujan tetap haus disayang, menambah bobot boneka tiga kali lipat, menggelontor berkecipak di kaki-kaki jemu.
Onggokan kapas di sudut kamar. Disebutnya Ia sebagai boneka. Salah siapa bila ia tak bisa protes bicara.
Onggokan kapas di sudut kamar turun lagi derajatnya. Tak lebih dari kain pel agung yang terus berair mata.
Kamar, 26 November 2011
00:53
teronggok tanpa daya.
salah siapa.
bo-ne-ka-(nya)-je-ra-pah
Comments
Post a Comment