Anak Semua Bangsa


Tidak. Saya tidak marah. Pula saya tidak tersinggung dengan semua cap dan label yang kalian berikan kepada saya. Saya hanya sedih dan menyayangkan, mengapa sekujur tubuh fana yang kompleks ini dapat dengan mudah diberi judul. Saya pikir, cukup ‘widha karina’ saja yang menjadi tagline sepanjang umur saya, namun ternyata masih banyak lagi julukan lain yang dialamatkan pada saya.



Seingat saya, ideologi tak perlu dibeli. Sepengetahuan saya, norma seseorang tak bisa diukur. Sepanjang saya hidup, tak pernah saya tahu bahwa ada lembar pendaftaran untuk masuk ke dalam golongan keimanan manapun. Tapi mengapa saya diklasifikasikan? Mengapa saya diberi kesempatan tereksklusi dan terinklusi dengan batasan-batasan nama. Sepanjang efeknya menyenangkan, tentu saya tak akan protes. Manusia mana yang tidak ingin diberikan posisi jika memang posisi tersebut menenangkan batin terdalamnya? Maka saya pun akan demikian. Tapi rupanya tidak semua judul menyenangkan. Tidak semua terminologi diklasifikasikan dengan akurat.



Identitas tidak pernah tunggal. Bersamaan dengan kemajemukan, manusia makin sok tahu pula menggolong-golongkan, padahal mereka juga adalah korban dari penggolongan. Saya tak habis pikir. Ini seperti lingkaran setan. Ini seperti seorang senior yang ingin membalas dendam dengan mengospek para juniornya, sama seperti apa yang telah dilakukan pendahulunya padanya. Dalam hal ini saya tak tahu lagi apakah saya korban atau justru pelaku. Menulis halaman ini toh sesungguhnya tidak serta merta menjadikan saya suci atas habitus manusia dalam membuat klasifikasi atas sesamanya manusia.



Saya bukan hanya manusia, namun juga seorang anak, seorang dengan latar belakang ras, agama, kepercayaan, paham, ideologi, dogma, doktrin, dan nilai. Saya bisa menjadi seorang pecinta yang dihujat atas nama norma. Saya bisa menjadi seorang humanis yang dihujat kaum kapitalis. Di sisi lain, saya tak lebih dari sekedar budak invisible hand yang dikutuk kaum sosialis. Identitas dapat menjadi sangat cair, lalu mengapa harus dibakukan lalu dibeku, kemudian berusaha dimatikan? Ya. Saya hampir mati karena label. Terutama hati saya. Sedih dan rusak hanya karena nama.



Sekali-sekali saya benci tradisi yang mengikat isi kepala dan membuat orang buta, bahwa dunia sudah kian berputar. Tujuh miliar manusia di dunia tak lagi sama. Sementara itu logika manusia hanya tiba pada kesimpulan pada sistem kepemimpinan minoritas yang dipercaya sebagai penyecap sari plural. Yang ragam dipepatkan hingga padat, dikotak-kotakkan pada kaca transparan, lalu dikelola. Kelola saja seperti sampah, dipisahkan mana yang organik dan yang tidak, yang basah dan kering, yang berpotensi dan yang tidak. Secara sekilas pemilahan tersebut tampak rumit, namun sesungguhnya tak lebih dari simplifikasi.



Kamu katakan saya pendosa. Saya terima. Kamu katakan saya penggoda. Saya terima. Kamu katakan saya bodoh dan tidak realistis. Memang demikian adanya. Kamu katakan saya subversif dan nyleneh. Silahkan, boleh-boleh saja. Kamu katakan saya senaif fransiskan, saya terima. Kamu katakan saya seangkuh jesuit, saya terima. Kamu katakan saya bidaah, saya terima. Kamu katakan saya pesimis, tidak masalah bagi saya. Kamu katakan saya kafir pun tidak apa-apa. Kamu katakan saya mendominasi layaknya seorang jawa di kepemimpinan Indonesia, saya terima. Kamu katakan saya melanggar nilai-norma, saya hanya bisa tarik dan hela nafas.



Saya hanya sedih jika semuanya terlontar dari sahabat yang saya percaya, dari orang yang saya cinta, dari orang-orang yang saya kira berpikiran terbuka. Pada nyatanya memang tak lagi ada tempat bagi mereka yang berbeda. Mulutmu boleh saja menyatakan pujian, tapi matamu tidak memuji. Lehermu bisa jadi mengiyakan, namun matamu tidak turut berpartisipasi. Pada dunia yang serba terukur ini, kesimpulan saya cukup berhenti pada satu pemakluman bahwa saya tak butuh dipahami. Jangan mencoba paham atau saya akan tersakiti. Jika matamu tak sanggup ikut tersenyum, diamlah saja, akan lebih baik di mataku. Karena sesungguhnya, tidak ada yang benar-benar tahu pedalaman diri ini dan segala pertimbangannya. Saya memaafkan kamu-kamu yang mencoba melabel saya. Saya memaklumi kamu-kamu yang masih setia pada tradisi. Tapi ketahuilah: saya tidak.



Saya hanya ingin mencinta.
Saya tak tahu di mana letak salahnya.
Jika cinta harus melalui rute hina dan derita..
..bisa jadi saya telah mencinta.




Kamar, 31 Januari 2012
Pk. 2.28




saya bukan anggota mana-mana, bukan punya siapa-siapa.
saya punya banyak warna di kotak pensil saya.. :)



Comments