LEPAK a LEPAHC


Rasanya tak lagi sama. Kini terasa rindu hingga ke ulu.


Lima hari. Aku belum lagi menapak realita dan hanya bergerak mekanis tanpa kesadaran yang alami. Tapi, ada satu ruangan yang sungguh membuatku merasa nyaman di penginapan ini. Hanya ruangan ini yang mampu membuatku menghentak bumi dan memaklumi hari. Ruangan apakah itu? Bahkan aku malu menyebutnya, mengingat bencinya aku pada ruang-ruang serupa itu beberapa tahun belakangan ini. Tapi itulah ruangan yang kelak kurindukan. Entah mengapa.



Ruangan tersebut mengundang air mataku. Pelupukku membuncah setiap kali melintasinya. Kusengajakan melewati ruangan tersebut dengan dalih ingin memotong jalan menuju kamar tidur. Sensasinya aneh. Yang berkali-kali kuinginkan hanyalah berjalan di dalamnya, menikmati gelap mistis yang begitu dalam terasa. Ya. Jelas ini aneh mengingat bahwa sebenarnya aku ngeri pada ruangan yang kelam.



Aku merasakan ada aura-aura aneh yang menyertai setiap jejak langkahku ketika melintasinya. Aku merasa ada yang mengawasiku di dalam sana. Siapakah dia? Atau mungkin...apakah itu? Aura itu kadang ramah, mengajakku berjingkat ketika aku sedang murung. Kadang aura itu menyapa dan menatapku tajam seolah menyusup masuk pikiranku dan mencari tahu pangkal dukaku. Namun ada kalanya pula sang sesuatu itu menolak kehadiranku, memaksaku pergi terbirit sehingga aku ragu untuk kembali memasukinya.



Di dalam ruangan tersebut aku ingin memeluk. Di dalamnya aku ingin bicara mesra. Di dalamnya aku ingin berlutut dan berpasrah. Di dalamnya kurasakan gentar sekaligus kehangatan dan ketegaran. Meskipun demikian aku tak tahu siapa yang akan kupeluk di dalam sana, siapa yang akan kuajak bicara mesra, dan kuserahkan diriku yang ketika itu tegar. ......karena memang tak ada siapa-siapa di ruangan itu, selain dua cahaya siang yang sedikit-sedikit mengintip mengajakku tersenyum. Yang satu menyeruak masuk dari celah tirai. Yang satu lagi berkedip genit dari sebuah titik anggun yang sakral. Ah! Ada luapan rasa yang bergolak minta dialirkan. Ada rindu yang tak ingin begitu saja berlalu.



Aku jatuh cinta. Jatuh cinta pada apa yang tak terlihat di ruangan ini.



Berdiam di dalamnya. Hanya kutatap lampu-lampu lancip di langit-langit. Hanya kubelai cahaya sakral yang menjadi jantung ruangan itu. Temanku hampir selalu ada satu, yakni sesuatu yang tak kulihat itu. Aku menanyakan kabarnya setiap hari. Meski tak kudengar jawab kabarnya, aku bahagia. Aku mencoba mencari sedikit waktu di tengah kesibukanku untuk menorehkan tulisan ini tepat di dalam ruangan yang kucinta ini. Dan inilah aku sekarang. Duduk di salah satu kursinya, menulis ditemani senyum gaib yang hanya dapat kurasa. Lalu aku menangis entah mengapa.



Hari ketujuh. Seharusnya dapat kurayakan hari perpisahan dengan ruangan terkasih itu. Karenanya, aku rela berpartisipasi dalam upacara penutupan yang sesungguhnya tidak ingin kuhadiri. Kali itu aku tidak datang sendirian, melainkan bersama teman-teman manusiaku yang lainnya. Jumlahnya lebih dari limapuluh makhluk nyata. Namun aura itu tidak lagi menyambutku. Cintaku hilang. Duduk di dalam ruangan tersebut pada hari ketujuh hanya menyisakan kenangan hampa tanpa jiwa. Aku ingin bertanya, “Kamu ke mana?”



Bisa jadi sesuatu itu pemalu.
Bisa jadi sesuatu itu marah padaku.
Aku tidak tahu.
Aku hanya sedih belum mengucapkan salam perpisahan kepada ruangan kesayanganku.
Hawa misterius, aku rindu.




Di ruangan itu.
Canossa-Bintaro, 27 Januari 2012. Pk. 15.00
Dilanjut di kamar, rumah. 30 Januari 2012. Pk. 00.13

Comments