Perjalanan yang Terlalu Cepat
Bulan lima hingga bulan tujuh pada tahun ini berlalu terlalu mengerikan. Segenap individu ini rasanya dibawa melalui rel-rel kereta luncur yang melaju cepat, tanpa menyadari pohon apa yang menyambut di tiap meter perjalanannya. Pun aku tak pernah tahu pergerakan awan serta riak buih yang silih berganti ada di bawah sana. Yang kurasakan hanya hawa yang meliputi kulit. Hanya panas dan dingin yang berganti cepat, rajin membuat diri ini melalui pancaroba. Sarat wabah. Sarat sakit. Sarat makna. Mataku tak pernah berani menatap rute dan menentang langit. Aku hanya merasakan iklim yang saat itu terlalu mengerikan dan serta merta memaksaku merunduk. Terus terpuruk. Hingga mataku berkontribusi pada sungai yang mengalir di bawah sana. Menambah volume airnya, namun mengurangi kejernihannya. Keruh.
Transisi. Aku menyebutnya transisi tanpa perubahan yang berarti. Bisa jadi sesungguhnya ada perubahan yang nyata, hanya saja aku terus menolak membuka mata. Sekelilingku hanya gelap, tapi aku merasa nyaman. Lucu sesungguhnya, karena aku mengutuk gelap, yang rutin menghantuiku tanpa kejelasan, mengecoh dengan dimensi yang tiada ujungnya. Di luar sana sinar mentari banyak berjanji, mengulurkan biasnya, mengajak beranjak, tapi aku tidak mau. Aku ingin menikmati matahari di tengah kegelapan ini, agar makin terasa hangatmu hai ratu, hai kehidupan. Dalam gelap ini aku terus bertanya, “Apakah kiranya yang tengah terjadi di luar gelap?” Aku bertanya kepada tuan rambut panjang yang tak terlihat, kepada desir angin yang menyapa suraiku, kepada tanah coklat yang berpasrah di sela jari kakiku. “Hai alam.. Salahkah aku?”
Aku terus berputar di satu titik. Aku tak punya alasan untuk beranjak. Satu titik ini pun belum habis kukaji, mengapa pula aku harus bergeser ke titik lainya? Kuamati dan terus kupertanyakan hingga tanpa sadar aku hanya terkungkung di tempat yang sama, dengan terali tanpa warna dan rupa, terus membuat benteng di lingkar sekitar. Benteng itu tidak tinggi dan tidak pula cukup lebar untukku bergerak, namun cukup transparan bagiku untuk menikmati senja. Cukup untuk membuatku tertipu indahnya warna jingga kecoklatan di atas sana. Tenang. Namun bukan ketenangan tipe ini yang kuimpikan. Dalam bilik kecil hatiku yang tengah terkurung, aku meyakini bahwa mega yang kulihat hanyalah mega yang semu, yang sempit dan berbohong, yang palsu dan terpaksa.
Mungkin ini pertanda keyakinanku dibatasi. Aku hanya tahu satu harapan dari semua laju waktu ini. Dan hidupku tergantung pada satu sembah doa yang sama setiap malamnya. Tak pernah kupahami siapa yang Ilahi, namun kini aku berlutut dan tunduk, memohon kekuatan yang tidak kumengerti, meminta diri-Nya bekerja demi hal-hal yang tak bisa kukerjakan sendiri. Demi terciptanya situasi yang tak dipahami logika. Demi satu mujizat, satu-satunya harapanku untuk hari esok. Hanya itu. Tampak egois, tapi imanku kukuh, bahwa hakikat permohonanku tak akan menyalahi keinginan-Nya, tak akan mengecewakan-Nya, tak akan menyusahkan-Nya. Aku merasa dangkal dalam setiap simpuh kakiku namun di saat yang bersamaan aku tampak sangat sederhana. Aku merasa angkuh dalam setiap lipatan kubu jariku, namun di saat yang bersamaan aku tampak pasrah dan takut. Apalah aku di lintasan kereta yang melaju terlalu cepat. Apa lagi yang bisa kudayakan selain dari kekuasaan yang tak terlihat. Satu harapan ini kugantungkan pada-Mu. Naif. Tapi tulus. Tapi mengerikan di saat yang sama.
Bulan lima sampai tujuh berlalu begitu cepat. Begitu sulit untuk kucerna dan kutemukan ujung lintasnya. Hingga kini pun aku masih merasa percikannya. Dampak bermula dari sekepal bola salju, lalu menggulung membesar pada bulan selanjutnya, siap melahap segenap ragaku. Aku tak mengapa tenggelam dalam dinginnya gumpalan es. Aku akan menghilang dalam pasukan partikel es yang sepakat untuk tebal, sepakat menyembunyikan aku di dalamnya. Aku pilih mati kedinginan di dalam sana, daripada terkungkung dalam ceiling glass yang pembohong. Dipaksa menonton senja yang tidak tentu.
Bulan lima sampai tujuh cepat berlalu. Membekas tangis tak kunjung ingin henti hingga kini. Merunduk terus kupaksa leherku. Supaya tak perlu kaget mata memandang panorama yang berganti terlalu cepat. Aku minta sudah. Aku mohon cukup. Ini semua terlalu dini dan terburu-buru. Kembalikan ritme perlahan yang dulu tersirat senyum di dalamnya. Aku mohon. Aku akan menunggu dan percaya. Sembari itu, aku akan terus menambah volume air di sungai bawah sana, tak peduli kau dan Kau. Aku hanya ingin menangis dan berharap. Aku hanya ingin kedangkalanku terjawab.
Comments
Post a Comment