Saudara Sepatu
Lebih dari dua kali aku memandangi etalase yang sama. Membiarkan energi-energi entah apa yang membuatku tergetar ingin memilikinya. Sepatu itu. Warna dan bentuk. Rupa dan potensi. Semua terjanjikan dalam satu wujud itu: se-pa-tu. Di etalase toko besar seperti ini, tak usah kutanya pun, aku akan tahu berapa kisaran harganya. Tapi toh aku hanya ingin memastikan. Maka kulangkahkan masuk ke dalamnya. Membiarkan diriku tersakiti. Menyerahkan diri pada yang punya kuasa. Dalam hal ini, apa lagi yang bertahta, selain: HARGA. Pelanggan bukan raja, melainkan hanya rakyat jelata. Mengembik pada yang mulia asisten raja, yakni pegawai toko, lalu bertanya: “Harganya berapa?” Dalam sekelebat suara selama beberapa detik, keyakinan terjawab. Sang raja terlalu tinggi. Tak tergapai, tak tertebus, tak terenggut. Kutinggalkan ia, si ideal penjanji masa depan, penawar rupa dan potensi, empunya janji gaya dan gembira rasa. Aku tak punya andalan apa-apa. Berhutang tak ingin. Meminta tolong tak pantas. Kukatakan saja, “Selamat Tinggal”
Pada kenyataannya aku hampir lima kali mengucapkan selamat tinggal, sementara ideal ini masih terpaut, demikian masih harap bersahut. Kucoba alihkan perhati, menuju arah berlainan memaksa diri. Namun tempo tak memberi restu, menghantarkanku sekali lagi.....ke etalase itu. Menyelinap di depannya, kini aku melonjak!! Kali ini sang raja agak merunduk, membiarkan aku setara dengannya di satu ketinggian. Aku hanpir menggenggam tangan sang ideal dan membawanya pulang, hingga asisten tak berhasil menemukan ukuran sepatu yang cukup besar untuk kaki yang lancang bertumbuh sepanjang ini.
Kali ini hatiku patah. Sungguh.
Rekanku mengatakan sang ideal itu tidak demikian baik untuk menjadikan hatiku remuk.
Tapi aku mau. Sungguh.
Kubiarkan kakiku yang setia berjalan di hari-hari berikutnya demi mendapatkan pasangan kencan idealnya. Satu pasang yang menarik hati, namun tidak cukup janji. Satu rupa yang berjanji, namun tak cukup mengikat jemari. Hari ini pun demikian. Tak ada yang menandingi sang ideal. Kubayang lagi warna, rupa, dan potensinya. Kuendapkan lagi keinginan untuk sekali lagi bertandang, untuk mengucap selamat tinggal. Semoga sang ideal terus ada di etalase, terpajang apik menanti tabik.
Aku rasa, sepatu itu adalah saudara sepupumu
Bagaimana mungkin..... kalian berdua... sama-sama tak tertebus?
5 September 2011
01.15
Comments
Post a Comment