Siapa Namamu, Tangis?
Apakah sebutan bagi tangisan macam ini? Kencang? Sesenggrukan? Terisak? Aku tak tahu.. Kosa kata pertama tentu tidak tepat. Aku tidak menangis kencang. Tangisanku tanpa suara. Seminim mungkin kutahan. Meski bahuku berguncang hebat. Kosa kata kedua bisa jadi benar, meski bila tak kubuka kamusku, aku ragu pada definisi yang tertanam di kepalaku mengenai sesenggrukan. Yang ketiga adalah terisak. Mungkin ada benarnya juga. Isak. Kasihan mereka yang memiliki nama “Isak”, semoga orangtua mereka tak berharap anaknya akan terisak sepanjang hari seperti yang kualami saat ini.
Bukannya aku ingin sok menjadi pengamat bahasa. Tapi ini periode yang sulit. Ya. Sulit. Aku merasakan masa ini, ketika aku tak bisa mendeskripsikan apa yang kurasa dengan jelas. Aku kesulitan menemukan kata yang melukiskan jenis perasaan semacam ini. Tangis ini. Rindu ini. Ah! Sesungguhnya aku termasuk orang yang tetap bangga dan senang menggunakan Bahasa Indonesia, meski dalam beberapa kuliah, pengajar kami kadang suka mengeluhkan terbatasnya kosa kata dalam Bahasa Indonesia. Sebaliknya, saya tetap kukuh Bahwa Bahasa Indonesia tidak kalah kaya. Kekayaan tidak bisa dipadankan. Pula percuma berkeluh kesah meributkan padanan bahasa ketika menerjemahkannya ke rumpun yang satu ke rumpun yang lain. Tradisi dan sejarah tiap wilayah tentu saja berbeda, maka berbeda pula pilihan kata yang digunakan bagi penggambaran tiap kondisi. Ya kan? Tapi toh kini akupun mendapat tulah. Muncul juga periode yang sulit ini. Periode ketika aku berkeinginan memetakan apa yang tengah kurasa, supaya dapat habis kutelaah dan lekas kuselesaikan dengan berbagai pilihan solusi. Tapi apa daya. Aku kesulitan menemukan istilah yang tepat bagi apa yang tenagh kurasa.
Aku tak tahu apakah sebelumnya aku belum pernah menangis sedemikian menjadi seperti ini. Kepalaku menjadi sangat berat dan sakit setelah mengikuti koreografi leher yang terantuk puluhan kali. Mataku menjadi lebih sayu dari seharusnya. Mimik wajahku selalu tampak mengerikan dengan balutan air licin dan asin yang melumuri pipi hingga telinga. Oh, dan tak hanya di wajah. Tubuhku pun memberikan efek yang tak biasa. Aku tak tahu sejak kapan tubuhku bergetar hebat ketika menangis. Tanganku juga menolak berhenti, terus mendekap dadaku dengan erat. Tambah erat tiap menitnya. Lalu ada lagi yang terasa berbeda. Jauh di dalam sana, terlindung rangka dada, jantung dan paru-paru, ada sesuatu yang minta dipukul. Ya. Ia meminta. Merongrong minta dibekap, dan ditahan, lalu diremukkan. Kadang kurasa ingin mengurai ruas-ruas tulangku, mengambilnya perlahan, lalu menimang si rewel, kemudian menuruti keinginannya untuk dipukuli. Empat, lima kali sepertinya cukup membuatnya reda. Mati sekalian. Tak tersiksa. Tak mengucil. Tak meronta.
Bila sudah seperti itu, aku akan mendongak ke atas. Memandangi wajah-Nya yang gondrong tampan. Sayang sekali sinar-Nya terhalang kaca di pigura. Maklum saja, aku belum pernah menemui-Nya secara langsung. Selama ini aku hanya memandanginya dari gambaran itu. Berbicara pada-Nya sambil terlunta dan mengerjapkan mata, membiarkan ribuan bulir menetesi seprai bercorak darah nyamuk. Sebulan lebih Ia menerima keluhanku dengan tabah. Ia adalah saksi mata hilangnya tiap milimeter daging dari tubuhku. Lama-lama kupandangi dia, kurasa Dia pun makin kurus. Pipi-Nya tak lagi berisi. Rambut gondrong ikal-Nya tak mengembang seperti dulu. Yang paling menyedihkan adalah raut dan senyumnya: tampak kuyu dan lelah. Hai Tuan yang ada di pigura, apa Kau lelah melayani ritual tiap hariku? Atau jangan-jangan Kau sedemikian setia kawan padaku? Kasihan betul Kau. Kau sungguh sial diletakkan di kamar ini dan harus mendengarkan raungan orang aneh ini. Pantas saja kau kian kurus dan lesu. Tidak heran! Padahal aku melihat diri-Mu yang tampak segar bugar di gedung-gedung lain. Kau juga tampak bahagia dan bersemangat ketika kulihat di pembatas buku, gantungan kunci, di televisi, dan di lokasi lainnya. Menderitakah Kau berada di kamarku?
Aku menghela nafas. Tubuhku berbaring. Ujung bibirku mulai saling menarik ke dua kutub. Lalu mataku mengeluarkan air. Basah lagi. Deras lagi. Dekap lagi. Pukul lagi. Gemetar lagi. Kepalaku berat lagi. Pukul lagi. Isak lagi. Duapuluh dua tahun aku hidup, tak pernah kualami rasa seperti ini. Salahkan memoriku. Salahkan asumsiku. Aku tak pernah mengenal tangis ini. Aku tak pernah menangisi pertemuan dan perpisahan hingga separah ini.
Baru sekarang
...
Tak segera henti
...
Tanpa suara
...
Ludahku terkumpul sudah
...
Bekap saja
...
Tak perlu ada yang tahu
...
“Hei tangisan... siapa namamu?”
6 September 2011
Pk. 2:14
Pk. 2:14
Comments
Post a Comment