WIIH!! SUDAh selesai ya??
Besok adalah harinya. Hari yang semestinya menjadi penghujung empat tahun masa menimba ilmu saya. Tapi pada kenyataannya saya tak akan ada di sana esok hari. Tidak perlu repot dengan kisruh pakaian, tata rias, foto, dan pendamping situasi. Berarti, saya juga tak perlu ikut ambil bagian dalam keresahan (atau kebingungan) peserta ajang, terkait sosok siapa yang akan menyambut mereka di panggung. Maka tak ada salahnya, saya menarik diri dalam pembicaraan yang menurut saya tak berlandas argumen cukup mengenai keengganan para mereka yang menolak berfoto dengan si tokoh. Cukup pada posisi protes kita pada buruknya kinerja sang tokoh, tapi jangan nodai institusi yang masih berharap pada proses menuju baik. Kontroversi tinggal gosip. Saya kukuh pada anggapan bahwa tidak peduli siapa yang ada di atas sana dan menggeser tali sang topi, pada intinya kita lepas dari belenggu iuran per enam bulan. Bebas sejenak dari sistem pendidikan yang menunggu untuk diselamatkan.
Ah! Empat bulan yang lalu saya masih menangisi ajang yang tak dapat saya sambut ini. Bukan karena alasan gengsi, bukan pula sebab alasan ingin sesegera mungkin menyongsong dunia yang penuh manusia pengejar waktu dan dolar. Saya hanya lelah menumpuk kotoran telinga dengan pertanyaan yang serupa mengenai ujung masa belajar saya di institusi ini. Kalau pertanyaan tersebut dilontarkan dengan lembut, mungkin saya tak akan protes. Tapi yang terjadi adalah kebalikannya. Pertanyaan tersebut seringkali muncul dengan seringai, dengan wajah sedih, ejekan, paksaan, keheranan, dan berbagai mimik yang ambigu makna. Tidak hanya mimik mencurigakan, kadang pertanyaan tersebut harus disertai sejarah perekonomian Indonesia sebagai preambule-nya. Terkadang, saya menjadi lebih mengenali riwayat keluarga sejak masa buyut saya melalui bumbu-bumbu yang menyertai pertanyaan tersebut. Ibarat sedang menggunakan toilet, rasanya seperti dikejar-kejar ratusan manusia yang tengah mengantri menggunakan toilet tersebut. Bayangkan semua orang yang tengah mengantri tersebut meneriakkan kondisi masing-masing dengan perspektifnya yang berbeda-beda: “Woooii.. saya sudah tidak bisa buang air besar sejak seminggu yang lalu!”, “Cepetan dong! Kemarin saya dapet oleh-oleh cabe Jalapeno dari Amerika Latin. Terus saya bikin sambel, tapi perut saya nggak kuat, jadinya sekarang mules-mules” .......Punya bayangan mengenai situasinya, kan? Tiba-tiba semua orang merasa memiliki saya dan punya kepentingan masing-masing atas diri saya. Semua ingin saya meraih ajang itu sesegera mungkin. Argumen yang melatarbelakangi-nya pun beraneka ragam, dari yang rasional hingga yang sama sekali tidak relevan, bahkan sok tahu.
Maka menjadilah tangis saya empat bulan lalu. Ketika itu rasanya jalannya memang terblokir bagi saya untuk menerjang penghujung masa belajar saya. Tangis saya bukanlah rupa penyesalan, melainkan wujud ketakutan menyambut rentetan kalender, menyambut pertanyaan yang sama di kemudian hari, dan ketidaksiapan menemui manusia-manusia penuh pengharapan. Dalam hati pula ada kemarahan. Kemarahan atas begitu banyaknya harapan yang ditaruh di punggung ini. Salahkah saya yang lahir di situasi kalian? Salahkah saya memiliki figur kebahagiaan di luar sudut pandang kalian? Salahkah nilai dan norma yang saya yakini? Rasanya ingin pergi dan membiarkan kalian semua bertanya dan menyesali diri atas kemarahan saya yang bahkan belum tentu kalian sadari. Namun pada akhirnya saya masih di sini, memohon belaskasihan kalian tanpa suara. Minta dimengerti. Meski saya tak pernah tahu adakah kalian sesungguhnya kalian memahami? Bagaimanapun juga.. Kontrol sosial terus menghabisi saya hingga ke sel terkecil yang ada di dalam sini.
Empat bulan setelahnya. Kini. Bulan-bulan melaju dengan kereta luncur. Entah sudah berhenti di halte yang seharusnya, entah sesungguhnya masih berjalan dan terus menuntut saya duduk mengenakan tali pengaman di kursi kereta. Saya tak pernah mengetahuinya. Saya hanya merasa, empat bulan yang lalu, seseorang yang tak terlihat memang sengaja memblokir jalan saya menuju penghujung masa belajar. Ia yang tak terlihat mengetahui bahwa kereta yang saya tumpangi akan melaju terlalu cepat, melalui tanjakan tajam dan berliku. Ia yang saya tak ketahui wujudnya menyarankan saya menyiapkan diri untuk sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih berat, lebih menyakitkan, lebih menguras. Haruskah kini saya bersyukur? Karena di lini ini, hanya sayalah yang mengetahui kisah ini. Kalian yang merongrong saya belum tahu. Tidak mau tahu. Tidak akan pernah tahu. Tidak akan membiarkan kalian tahu.
Empat bulan setelahnya. Kini. Bulan-bulan melaju dengan kereta luncur. Entah sudah berhenti di halte yang seharusnya, entah sesungguhnya masih berjalan dan terus menuntut saya duduk mengenakan tali pengaman di kursi kereta. Saya tak pernah mengetahuinya. Saya hanya merasa, empat bulan yang lalu, seseorang yang tak terlihat memang sengaja memblokir jalan saya menuju penghujung masa belajar. Ia yang tak terlihat mengetahui bahwa kereta yang saya tumpangi akan melaju terlalu cepat, melalui tanjakan tajam dan berliku. Ia yang saya tak ketahui wujudnya menyarankan saya menyiapkan diri untuk sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih berat, lebih menyakitkan, lebih menguras. Haruskah kini saya bersyukur? Karena di lini ini, hanya sayalah yang mengetahui kisah ini. Kalian yang merongrong saya belum tahu. Tidak mau tahu. Tidak akan pernah tahu. Tidak akan membiarkan kalian tahu.
Maka tugas saya belum selesai. Saya tidak menyesal melepas kalian, para kawan yang akan menuai masa bebas kalian lebih dulu. Saya tidak menyesal tidak bersama dalam perahu yang kalian tumpangi bersama. Saya tidak menyesali tangisan tersedu empat bulan yang lalu. Hanya saja hati ini trenyuh menyaksikan awan yang akan kalian tentang di hari setelah esok. Kegentaran itu kualami, bukan untuk segera beranjak menuju tantangan, melainkan aku takut menerjangnya. Aku enggan merengkuh sistem. Aku tidak akan berada di periode manusia seperti kalian, hei para makhluk normal. Aku masih berputar dalam pertanyaanku. Dalam keraguanku, dan malah iba melihat kalian. Aku malah terasing melihat kalian yang sepakat sejalan dengan lingkaran yang sama, di mana aku tak ada di dalamnya. Di mana aku tak pernah bermimpi akan turut serta dalam arusnya. Aku bahagia masih ada di sini, dengan pertanyaan yang menjadi batu sandungan tuntasnya masa ketergantunganku.
Ah! Tapi kebahagiaan tak menjamin dirimu lepas dari masalah yang fana. Dengkuran protes selalu ada dan menjadi manifestasi dari teguran yang akhir-akhir ini saya nafikan dari hari ke hari. Lama-lama curiga juga bahwa kebahagiaan ini hanya harapan dangkal, yang sesungguhnya muncul dari rasa ingin berlari. Pelarian spontan yang bagaimanapun juga harus diakhiri. Tapi sungguh semangat kali ini tampak berbeda. Saya hanya ingin tiba di garis akhir, bukan dengan visi awal, bukan pula karena ingin mengurangi kotoran telinga dari suara-suara mereka. Kali ini saya tunduk pada alur, hanya untuk pergi dari arus, untuk segera beranjak dari sungai, pergi ke laut. Lalu kembali untuk menaklukkan kalian, hei ikan-ikan serupa yang membentuk arus. Hanya saja, ada satu hal yang harus saya pelajari di kemudian hari. Bahwa arus tidak hanya terbentuk karena apa yang bergerak di bawah air, melainkan juga tercipta karena angin. Karena relief. Karena semula tercipta.
Misteri.
Bila selesai pun, aku akan membenci seruan, “WIIH!! SUDAh selesai ya?”
Seruan yang tak pantas. Padat konotasi palsu.
Nebeng nulis di kosan si Mola,
15 September 2011
23.35
Comments
Post a Comment