Bukan Dunia Tinkerbell
Matahari kian sombong. Petantang-petenteng tebar-tebar terik. Tapi aku tetap suka memandanginya berlama-lama. Bersender pada bilah besi jendela di “bus Jepang” ini. Agustus memang bulan yang kompatibel dengan sinar dan terik. Teringat sepintas ketika aku bersedih di tahun lalu. Saat itu bukan main keruh hatiku memandangi hujan mengguyur Agustus. Pikirku, “Warna kuning cerah matahari tak seharusnya digantikan dengan kelabu..” Aku sungguh rindu Agustus yang dulu.
Tahun ini Agustus-ku seperti pulih. Bersinar berlebihan seperti biasanya. Aku duduk dengan riang. Membiarkan rambutku kian merah dan hangat menyimpan hawa sumuk matahari. Aku senang, rasanya seperti dimanja oleh langit. Demikian bersinarnya Agustus-ku kali ini, hingga belum pernah ada hujan memercik di Jakarta di Bulan Agustus ini. Kuperhatikan, terakhir kali bulir air hujan jatuh di penghujung Juli. “Ah! Sempurna! Ini tentu akan menjadi hari yang sempurna!” seruku dalam hati.
Tentu saja ini adalah hari yang sempurna! Ponselku tak pernah berhenti berdering, memberitakan lokasi pertemuanku dengan para sahabat. Kali ini kami janji bertemu di sebuah pusat perbelanjaan moderen. Dalam hati, aku tak suka. Bukannya apa-apa, tapi sejak dulu pusat perbelanjaan bukanlah lokasi rekreasi yang ideal untukku.
“Saya punya banyak alasan yang mungkin terkesan diada-adakan. Alasannya mulai dari yang bersifat intuisi hingga yang logis. Contoh dari alasan intuitif adalah: saya merasa tidak nyaman berbelanja di pusat perbelanjaan moderen. Bukan, saya tidak sedang membicarakan keberadaan Air Conditioner atau lantai bermarmer yang sesungguhnya malah bisa membuat pengunjungnya mati karena terlalu nyaman. Saya sedang berbicara tentang ...mm..bagaimana kita membahasakannya? Relasi antar individu? Ah, begini saja. Saya akan menjelaskan contoh kasusnya. Entah mengapa (menurut saya) pusat perbelanjaan moderen tidak membiarkan pengunjung dan pegawainya untuk menjadi dirinya sendiri. Kecuali orang yang cuek, seseorang dapat menjadi korban judging. Menurut saya, pemilik pusat perbelanjaan dan pegawai toko seringkali memilih pembeli. Caranya cukup menyakitkan: dengan melihat pengunjung yang memasuki tokonya melalui mekanisme scan (baca: memandang dari ujung kaki sampai ujung kepala). Terus terang, pada poin ini saya merasa bukan orang yang cukup cuek, melainkan cukup sensitif. Bahkan, terkadang ber-iba hati pada pengunjung yang tidak mendapat pelayanan baik hanya karena tidak berpakaian baik menurut ‘ukuran nilai pegawai’. Intuitif contoh kedua: saya tidak bisa mengontrol hati supaya tidak tersayat ketika membuka pintu keluar dari pusat perbelanjaan moderen. Begitu lepas dari si Air Conditioner yang super membius, saaaassshh!!....yuk mari nikmati aspal panas yang di atasnya sudah tersaji pemandangan para peminta yang tampak iri (sekaligus ingin tahu) pada tas kresek keren yang ada di tangan kita. Merasa bersalah? Atau merasa hidup ini terlalu njomplang? Itu yang saya rasakan. Entah kenapa saat itu rasanya mau melemparkan tas kresek di tangan dan berkata kepada mereka, “Hei.. Nggak kok! Saya nggak belanja. Tolong mukanya jangan mupeng dan memelas begitu..”
Nah.. kalau alasan-alasan intuitif itu lebih karena saya yang over sensitif nan melankolis, mari kita tengok alasan-alasan logis. Alasan logis yang pertama tentu karena keterbatasan dana yang ada di saku saya. Alasan kedua lebih karena hal-hal politis, mengenai siapakah pemilik pusat perbelanjaan tersebut dan berapa banyak uang yang mereka keluarkan supaya mendapat izin membangun dari pemerintah? Berapakah pedagang bermodal kecil yang dirugikan dengan keberadaan pusat perbelanjaan moderen tersebut? Berapa keluarga yang digusur huniannya demi membangun gedung perbelanjaan? Bagaimana perhitungan tata kota perihal peletakan pusat perbelanjaan tersebut dan sebesar apakah sumbangannya pada kemacetan ibukota.”
Tapi, bagaimanapun juga, pusat perbelanjaan moderen adalah salah satu fasilitas yang mengakomodir kebutuhan kami untuk bertemu dan bercengkrama dalam situasi yang kondusif. Kalau bisa diistilahkan, kami rela “beli tempat” untuk mengadakan pertemuan berkualitas dan relatif bebas gangguan (hujan-digrebek kamtib-diserang asap knalpot, dll). Jadi, inilah aku, dengan tekad sekuat baja, mulai mengirim pesan singkat ke teman-teman, memberitahukan bahwa aku sudah tiba di lokasi terjanji. Mata, kepala, dan tungkaiku terkoordinasi dengan baik, mengelola kegiatan celingak-celinguk dengan sempurna. Akhirnya pandangan ini dapat menemukan mereka. Tiga gadis luar biasa yang tengah menyantap teh tarik bercampur jelly. Tak perlu waktu lama bagi kami melepas rindu, karena toh sesungguhnya kami dapat dibilang cukup rajin bertemu. Secara berkala. Kali ini topiknya spesial. Salah satu dari temanku yang duduk di situ masih dalam situasi duka. Kurang dari dua minggu yang lalu ibunya berpulang. Meninggal. Ketika itu pagi hari, saat saya terbangun dengan lima pesan singkat yang sebagian besar diantaranya memberitakan kabar dukacita tersebut. Dan inilah kali pertama bagi kami mendengar cerita dari teman yang berduka ini. Sebelumnya, kami saling tak tahu menahu bagaimana nasib teman kami ini. Pun kami tidak melayat sama sekali. Ibunya meninggal di luar pulau Jawa, yakni di Sumatera, tepatnya di Kota Medan.
Cerita bergulir dan lagi-lagi mata ini tidak kuat menanggung beban. Ibarat terpal yang sedang menahan air hujan. Menampung, lalu tumpah begitu saja. Teman kami tidak berada di samping ibunya pada saat-saat terakhir. Ibunya diduga sakit gagal ginjal, akibat mengonsumsi obat-obatan keras demi menyembuhkan penyakit yang sebelumnya sudah ada di tubuhnya. Di luar kisah medis, teman kami bercerita tentang masalah di keluarganya, sengketa, dan hal terkait materi dan relasi keluarga lainnya. Itulah pertama kalinya bagi kami mengetahui begitu banyak hal tentang keluarganya. Maklum, kami ini grup sobatan yang anggotanya banyak. Seringkali kami hanya mengetahui sekelumit dari ini dan sekelumit dari itu. Tak jarang si ini lebih dekat dengan si itu, dan si sono tidak mengetahui beberapa hal dari si ini. Begitu seterusnya.
Diskusi sedemikian lancarnya, hingga mengarahkan kami pada seloroh-seloroh wajar mengenai kehidupan.
“Kakak gue sekarang lebih pendiem. Kayaknya dia banyak mikir.”
“Iyalah. Anak pertama..”
“Iya sih. Pengganti ibu gue. Sekarang rumah sepi. Sepeda gue hampir dimalingin. Terus besoknya ayah gue malah beli soang. Katanya biar ga dimalingin. Tapi soangnya berisiiiiiikk banget.”
Sambil tertawa dan menyesap minuman, hati ini rasanya mencelos. Aku teringat masa-masa ketika kami masih sekolah dasar. Ya. Kami adalah sahabat sejak sekolah dasar. Bahkan diantaranya (aku termasuk) sudah ada yang bertemu sejak duduk di bangku taman kanak-kanak. Puncak keakraban adalah ketika sekolah menengah pertama. Sepulang sekolah, kami selalu bermain bersama dalam grup yang besar. Seringkali kami menginap hanya untuk foto-foto di rumah salah satu teman kami yang interiornya seperti rumah Bali. Super etnik! Sebagai info, sekolah kami (TK-SMP) memang seperti satu komplek. Letaknya sebelah menyebelah, seakan-akan ingin mengatakan, “Sekolah lanjutannya di sebelah aja yaaaaa.. Kan sudah dapat teman tuh.” Terbukti, kami terus berada di sekolah yang sama hingga SMP. Waktu seakan gagal menguji kesetiaan kami antara satu dengan yang lain. Kami mulai berpencar ketika kami SMA. Ketika itu pun, beberapa diantara kami ada yang bersekolah di sekolah yang sama. Bahkan ketika kuliah, pun ada beberapa yang tetap berjodoh berada di universitas yang sama.
Pikiran ini mengenang masa-masa lucu SD ketika topik pembicaraan kami masih berkisar undangan ulangtahun dari teman dan rencana kegiatan ektrakurikuler menari. Kadang-kadang kami saling mengejek apabila ada anak laki-laki yang menyukai salah satu dari kami. Ketika SMP, kami rajin bertukar komik, curhat, bermain ramalan, makan bakso, dan mengelola majalah sekolah hingga menangis bersama-sama. Kebersamaan itu merenggang di SMA, ketika topik obrolan kami tidak lagi sama. Tapi toh kami tetap berbagi cerita mengenai tradisi sekolah masing-masing, tetap mengenalkan pacar satu dan yang lain. Kini beberapa orang diantara kami sudah menyelesaikan kuliahnya dan memasuki dunia kerja. Obrolan kami berkembang. Seperti sekarang, ketika memberitahukan bahwa ibunya sudah meninggal, bahwa Ia harus serius bekerja sembari menemani ayahnya. ..........sungguh kami tidak berpikir sejauh ini ketika SD :’)
Hati ini rasanya hangat. Aku tidak tahu mengapa rasanya demikian. Yang kutahu tadi pipiku sempat basah. Rasanya juga hangat. Mereka tidak tahu bahwa pikiran ini sempat melayang, mencoba membandingkan kisah-kisah kami yang telah lalu. Mengagungkan cerita panjang ini, betapa kami sudah tumbuh dan berusaha menjadi dewasa. Kami bukan lagi remaja yang mecoba mirip satu sama lain. Tiap sosok dari kami berbeda. Datang dari latar belakang yang berbeda. Beda agama. Beda suku. Beda kondisi ekonomi dan status sosial. Beranjak malam, dua teman kami yang lain datang lagi. Suasana kian ramai. Kian banyak cerita, dan pikiran ini makin liar. Semakin terbayang masalah yang membayangi kami sejak kecil hingga sekarang. Orangtua berbeda agama. Perceraian orangtua. Kesulitan ekonomi. Perpisahan dengan keluarga inti. Diselingkuhi. Mencari pekerjaan. Dan lain-lain.
Hembusan nafas bisa jadi bukan sekedar tuntutan untuk bertahan hidup, namun juga sebagai tanda konfirmasi bahwa kita sepakat untuk menghadapi sesuatu. Detik ini, aku merasa belum siap. Pula tatapan mata kawan-kawanku ini seakan letih mengikuti tuntutan waktu. Bersiap menjadi tulangpunggung. Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya hanya untuk memastikan bahwa kata’realistis’ sungguh punya makna dalam hal mempertahankan hidup. Menyiapkan diri menyediakan tameng untuk harapan-harapan lumrah yang sesungguhnya belum tentu lumrah: menikah. Terpaksa menelan derita, yang menurut orang-orang adalah sesuatu yang harus kita hadapi dalam waktu yang tepat. (sungguhkah?). Tanggungan seakan tidak pernah puas, seolah ingin menjadi penyeimbang keinginan manusia yang tiada habisnya. Sementara itu, diri ini kian renta, kian meminta kepada jiwa untuk dipahami, supaya kita menjadi manusia yang sungguh manusiawi. Di balik obrolan ringan dan sederhana kami, terkandung muatan, “Selamat datang, hidup..”
Kami tertawa. Kali ini bergantian memakai topi-topi unik yang disediakan pihak restoran setempat, bergaya, lalu mengabadikan kreasi konyol kami dalam sebuah kamera. Kami tersenyum.. dalam senyum itulah terkandung banyak makna. Banyak suka dan duka. Banyak tuntutan dan realita kehidupan. Seorang ibu menatap kami nyinyir dan galak, seakan ingin mengatakan bahwa kami terlalu berisik dan mengganggu jam makannya. Kami tidak peduli dan terus saja bergurau lepas sambil sesekali cicip piring sana dan sruput minuman sini. Orang bisa jadi menganggap kami sekelompok pemudi yang tidak tahu diri. Tapi kami yang mengalami proses, tahu bagaimana kami mengembangkan hati hingga bisa seluas ini.
Kadang kupikir, sahabat-sahabatku yang ini tidak pernah mau dewasa. Kami terus berangan mengenai masa depan yang indah, dan tidak pernah memprediksi hal yang buruk. Tapi ini bukan dunia Tinkerbell. Waktu berkata sebaliknya. Alam menyediakan jalan setapak yang demikian. Kami sudah protes dan berusaha memperjuangkannya. Ini kami. Kami siap menghadapinya. :’)
Ohya, pusat perbelanjaan moderen! Kali ini kamu kumaafkan! Situasi kondusif yang kamu ciptakan luar biasa membantu proses kami hari ini!
Jakarta, kamar, 16 Agustus 2011, pk 1.15
untuk Bunny Family tersayang.
untuk Bunny Family tersayang.
widha
...aku pulang, sahabat-sahabat. Aku kembali ke dunia nyata dan sejenak berhenti berangan-angan dengan kalian. Aku akan kembali menerjang Agustus dengan sinarnya yang menari-nari sepanjang hari, bertahan dan berjuang demi satu impian yang dulu pernah kubagi. Berharap supaya aku dapat bertemu kalian dan memberi kabar baik tentang sebuah mimpi. Bagaimanapun aku senang. Aku punya saksi hidup yang nyata, yang tahu bagaimana proses hingga aku menuju titik ini. Pula aku mengetahui bagaimana kalian beranjak dan berubah, mendewasa bersama-sama. Ini terasa nikmat. Rasanya seperti minum coklat. Manis. Tapi sesungguhnya sarat akan rasa pahit yg mungkin tidak terasa di sesapan pertama. Tentu saja. Hangat.
was happy..
still happy ♥♥♥
and keep our krezi track :D
Comments
Post a Comment