LEK

Krup      : Keluarga itu baik. Keluarga guru. Ayah, ibu, dan lima orang anak. Darah mengajar.

Beng      : (mengangguk) Pintar?

Krup      : Semestinya.

Beng      : (Mengangguk-angguk yakin) Rumah yang padat. Besar?

Krup      : Tidak bisa dibilang besar. Kau bisa bayangkan rumah sederhana di ibukota. Bahkan ada lagi satu manusia di dalamnya. Kupanggil Lek. Adik si ibu. Tidak menikah. Ikhlas. Ramah.

Beng      :Hmmm. Cukup kenal rupanya?

Krup      : Bisa jadi. Eyang uti kakak keduanya.

Beng      : Jadi kau pintar?

Krup      : Tidak ke arah sana! Aku bukan orang yang sabar. Hanya mampu melihat, tak punya nyali mengajar. (Diam. Menerawang) Ah! Dan perkutut mereka! Riuh benar!

Beng      : Jadi benar, kau kenal?

Krup      : Portable kah telingamu?

Beng      : (Mengernyit sebal)

Krup      : Umurku enam tahun. Gang rumahnya menyambung ke sekolah baruku, jalanan pasar sarat gerobak dan kresek bau. Itu jalan tembus. Cukup lalui itu saja dari rumah mereka. Terjangkau kan?

Beng      : (masih kesal. Menggerutu) Ukuranmu itu tak pernah lumrah. Terjangkau versimu? Kali ini pun aku ragu.

Krup      : (menghiraukan reaksi Beng) Maka tiap usai jam belajarku, tak urung aku bermain ke situ. Menumpang makan dan tidur. Sore-sore aku dan Lek berjalan kaki kembali menuju sekolah, menyusur jalan. Kadang via jalan tembus, kadang menumpang angkutan. Diberinya aku uang lima ratus. Cukup untuk mengganti seplastik mpek-mpek untuk kunikmati. Kukatakan berulang: Tak usah. Tapi Lek tetap memberiku lima ratus. Padahal kantin tutup bila sesore itu.

Beng      : Toh kau terima juga.

Krup      : Tiap minggu, Beng. Kadang lebih dari seminggu satu kali. Sebenarnya ibu selalu memesankan supaya aku menolak uang itu.

Beng      : Mengapa?

Krup      : Lek tidak bekerja.

Beng      : Lalu?? Untuk menghidupi kesehariannya?

Krup      : (sambil menyeruput minuman di sampingnya dengan santai) Bisa jadi telingau itu sudah habis masa berlaku.

Beng      : (nyinyir) Statemen mu itu tidak pernah jelas. Masakan aku yang selalu kau salahkan?

Krup      : (tidak menganggap serius kata-kata Beng) Lek hanya menumpang. Lek yang urus lima orang anak itu.

Beng      : Lek tidak menikah?

Krup      : Kadang kupikir Lek baik bila jadi biarawati saja.

Beng      : Kau pikir??!!

Krup      : Ini pendapatku! Tidak ada maksud lain. Kau ini. Prasangkamu hanya berputar di kisaran norma.

Beng      : (Menegakkan punggungnya dan condong menghadap Krup) Kau berkata seakan..

Krup      : (Menyeruput lagi minumannya dengan santai) Kau menyerangku seakan kau orang yang paling tahu. Aku sedih kalau sahabatku sendiri naif.

Beng      : Paling tidak aku tahu.

Krup      : Tahu apa? (sedikit menantang. Mengangkat cangkirnya tinggi)

Beng      : Rasa sedih karena memiliki sahabat yang sinis.

Krup      : Apa salahnya? Toh aposteriori.

Beng      : Iya! Tapi rancu dengan sakit hati.

Krup      : Lebih baik daripada jadi manusia puritan.

Beng      : (diam)

Krup      : (mengambil kesempatan Beng yang terdiam) Lek menua. Juga orang di sekelilingnya.

Beng      : Kalau itu, aku juga tahu.

Krup      : (tertawa) Iya.. menua. Tapi jadi seperti sampah. Orang di sekelilingnya, yang membuangnya, juga tidak berbeda. Aromanya tengik. Seperti sampah. Atau bisa jadi, sebenarnya Lek yang jadi tempat sampahnya.

Beng      : (Diam. Reda amarahnya. Kini kembali tertarik pada cerita Krup, kemudian memperhatikan dengan seksama.)

Krup      : Akupun termasuk. (tersenyum miris) Umurku genap belasan dan terus bertambah. Aku jarang mengunjunginya. Terakhir kali kuketahui Lek sakit. Kakinya busuk, menebar aroma daging lembab tak terurus.

Beng      : Ia merawat semua orang. Mengapa tidak ada yang merawatnya?

Krup      : Tak heran sebenarnya. Kukatakan tadi, orang disekitarnya seperti sampah. Ah, tapi tak mudah kumengerti. Mereka semua seperti.... seperti... gagal bertumbuh. Tak kutemukan berkas bibit unggul dalam semua sosok di rumah itu. Apa yang salah? Aku tak berhasil mendeteksi.

Beng      : Apa urusanmu atas mereka?

Krup      : Bagaimanapun juga, Beng..

Beng      : (memahami maksud Krup) Ya. Ya.

Krup      : Ah! (berpikir, lalu menyesali pikirannya sendiri) Alamilah, Beng! Nanti kau tahu sendiri.

Beng      : (Diam)

Krup      : (getir) Lebih mirip seperti rumah tua yang terseok-seok memaksa. Lemah tak terkondisi. Kalah. Tiap individunya kualitas lawas. Diawali dengan keangkuhan memandang adab. Lalu jatuh terpuruk. Kelewat pasrah. Kelewat tercoba. Kelewat koma, sementara itu pohon- pohon belimbing pun sudah berbuah, menertawai mereka. Penyakit berjangkit dan depresi terlalu betah bersarang, menyelinap lincah memasuki bilah pertahanan.

Beng      : Menyerupai wabah kukira.

Krup      : Ya dan tidak. Yang jelas, satu mati. Mulai dari yang paling cemerlang, paling muda, sekaligus yang paling frustasi.

Beng      : Mulai katamu? Bilakah sang akhir?

Krup      : (mengangkat bahu lalu mendelik kecewa melihat cangkirnya mulai minin isi, kemudian pasrah dan kembali menatap nanar) Yang kedua juga cemerlang. Mati. Yang paling tua, yang paling merasa dan memegang kendali seakan semua benar di tangannya. Merasa bersalah kukira.

Beng      : Ayahnya! (Membelalak)

Krup      : Selisih setahun, Beng. Tanda-tanda samar. Tidak ada yang nyata kan? (terkekeh)

Beng      : Kau yang luput melihat tanda, Krup.

Krup      : (tersinggung) Hei! Yang ada padaku bukan hanya tanda! Terlalu banyak, hingga aku muak jadinya dan jangan anggap aku tidak peduli. Aku hanya letih. (lalu berpikir) Kalau ada istilah yang mendeskripsikan situasi di antara mati rasa dan letih, bisa jadi aku tengah mengalaminya.

Beng      : Kalau ada kata yang melukiskan antara mati rasa, letih, dan egois, bisa jadi kau juga tengah mengalaminya.

Krup      : Kau mulai tampak seperti orang-orang di luar sana.

Beng      : Memang harus begitu sekali-sekali kan?

Krup      : (Menutupi wajahnya dengan kesal) Apakah yang salah, Krup, dengan perasaan lelah? Di luar kematian, masih banyak yang lenyap dari dekapku. Ada yang salah dengan kata kerja: beristirahat?

Beng      : Ada saatnya, Krup. Tapi toh kulihat kau berleha setiap hari.

Krup      : Mungkin melihat sudah cukup bagimu. Ini perampokan besar-besaran, Beng.. (memohon pengertian Beng)

Beng      : Seandainya kesabaran bisa dibeli.

Krup      : Hadiah untukku?

Beng      : Karena ini hari spesialmu? Enak saja. Beli sendiri..

Krup      : Justru karena ini hari yang khusus. Inilah puncak lelahku. Bisa jadi aku memang egois. Tapi ini sudah terlalu banyak, Beng. Kabar datang setiap hari, memilukan hati dan meninggalkanku seorang diri. Kini perlukah kukorbankan juga hari ini? Bukannya aku acuh, Beng, aku pula berterimakasih untuk masa kecilku yang diwarnai olehnya. Aku ingin peduli
dan memang peduli. Tapi siapakah yang peduli dengan hariku?

Beng      : Mendewakan hari? (Mimik heran) Aku atau kau yang sesungguhnya makhluk tradisonal di sini?

Krup      : (resah) Aku hanya minta dipahami.

Beng      : Bukan hanya kau, Krup..

Krup      : Tapi ini kan hari............

Beng      : Tak perlu kau ulang.

Krup      : Bahkan matahari mulai undur diri.. (Mulai terisak)

Beng      : (Diam khabisan kata-kata)

Krup      : Aku menolak bukan karena acuh. Aku hanya tidak ingin melihat pertanda dan proses   kehilangan lagi. Ini terlalu menyedihkan dan kebetulan dengan hari spesialku, sementara kalian berlomba menghujatku hanya karena rasa ini tersirat? Justru karena aku begitu bersyukur dirawat! Aku tak sanggup, Beng!!

Beng      : (bingung) Lagi? Kehilangan yang mana lagi?

Krup      : Beng. Untuk ketiga kalinya telingamu berulah.

Beng      : Krup. Logikamu yang berulah. Pernyataanmu tidak pernah benar-benar selesai dan bertautan.

Krup      : (Menyentakkan kursinya, berdiri dengan tiba-tiba sambil mengemasi barang-barangnya)

Beng      : Apa sesungguhnya?? (Ikut berdiri keheranan?)
Krup      : Kurang dari satu dekade. Ketiga. Kali ini tempat sampahnya.

Beng      : (Tambah bingung)

Krup      : Lek. Dimakamkan hari ini.

Beng      : Tapi, Krup! Bahkan teman-teman kita belum datang!

Krup      : Merayakan hariku dengan teman yang berucap mengenai selebrasi semu? Lebih baik pergi. Meski pula bukan ke tempat Lek berbaring. Sepertinya lebih baik daripada menanti kemudian ditinggalkan.











Bukannya tidak ingin menghantar.. Tapi Lek beranjak di masa yang begitu melelahkan.
Terimakasih dan maaf.





Pasca 18 Juli.
...karena pelipurku pun luput dari hariku. Hai kamu pelautku yang di sana, cukuplah kau datang kembali. Dan aku akan sembuh, tak lagi lelah serta cukup asupan daya untuk menghantar Lek atau orang-orang lainnya.




Salemba-Kenari, 19 Agustus 2011
pk. 16.55

Comments

Popular Posts