Mata

Mata ini tampak terlalu loyal pada tuannya. Pelupuk ini terlalu memanjakan pemiliknya. Kantung kelenjar air pun seperti bersiap-sedia. Menampung persediaan banyak sebelum ia keriput akibat konsumsi berlebihan tuannya. Yang kedapatan susah adalah tangan. Berguncang hebat, tapi pura-pura jemarinya menahan. Tetap menulis, patuh pada kehendak mata. Tunduk pada instruksi kehendak. Naluri. Rasa.


Rasanya koordinasi tubuh ini tidak adil. Saat itu mata bak raja. Minta diusap, minta dikeringkan berkali-kali. Yang kerepotan sesungguhnya tidak hanya tangan. Tapi juga bahu yang tidak hentinya menyelaraskan sendi ke sana dan ke mari. Kadang mengarah ke tissue, kadang ke pena lalu kertas, kadang ke sedotan, kadang ke papan tuts. Mata, kamu egois. Kamu tumpah. Muntah. Tanpa kenal lelah.


Kalau bisa, mata ini akan membela diri. Dorongan muntah belum tentu ada padanya. Kalau bisa, ia akan protes. Protes kepada kamu, aku, kepada kalian. Kalau sanggup, mata akan menangis untuk dirinya sendiri. Toh mata punya hak marah ketika ia ditunjuk-tunjuk. Pada kenyaaannya ia akan menuding sesuatu yang bertanggungjawab untuk semua ini. Ia akan memberi tendensi salah kepada apa yang tidak terlihat. Yang mengendalikan dari suatu titik di kedalaman sana. Yang sedang dibebat siksa. Yang terluka. Terpuruk. Hanya diam. Hanya merasa. Jauh. Di lubang kejatuhan.



Hei yang di dalam sana..

Kamu egois..

Kamu sok kuat..

Kamu curang..

Merasakannya sendirian..

Berbagilah dengan kami..

Supaya kami tahu..

Mengapa kami harus bekerja keras..

Demikian hebat..

Setiap hari..

Tengah berada di periode gentingkah kita?

Apa sudah akan bangkrut?

Apa kesatuan bangun akan rubuh?






Yang di dalam sana membuka. Redup. Berkata,

“Aku tidak tahu.”






Hati kudus yang dibalut duri bisa berarti banyak. Tak harus selalu diketahui. Cukup rasakan. Meski itu tanpa alasan.
Hatiku ini juga tak kalah kudusnya. Mau coba?



Kamar, 25 Agustus 2011
Pk. 12.59




:')


Comments

Popular Posts