Kalian Harus Tetap Tinggal di Sini


Setelah siang yang rindu.
Setelah tidur yang terus diulur.
Setelah pertanyaan-pertanyaan orang rumah yang ditampik.
Setelah berupaya mencarimu.. dengan berbagai cara..


Yang wanita mematut diri di cermin, memilih atasan untuk dikenakannya sore ini.
“Rok bawahan kemarin masih bisa dipakai sekali lagi. Tapi ada celana jeans hitam juga.”
Dibukanya lemari ruang depan dua kali. Ruang tengah berkali-kali.
Si wanita membutuhkan atasan panjang untuk jeansnya.
Satu kemeja. Satu kaos. Semua dilempar ke meja setrika. Tidak memuaskan.
Si wanita mengambil roknya yang telah bebercak hitam. Cipratan becek dari pasar.
“Bodo ah”
Lalu memanaskan setrika, memaksa rok warna pucat itu halus. Berharap bercaknya pudar.
Wanita kini berkaos coklat. Dimasukkan kaos ke dalam rok. Ikat pinggang coklat turut serta.
Sempurna.
Wedges coklat ikut mendaftar.
Serba coklat.
Tas hitam dengan list coklat memanggil, minta digendong, menjanjikan keserasian.
“Sepakat!”
Si wanita memilih rambutnya di kisaran dahi. Memilinnya. Lalu menyatukannya.
Manis.
Jalan kakikah setelah ini?
Sengaja lewati rumahnya dan menahan diri untuk tidak melongok ke dalam?
“Sekali lagi. Sepakat. Akan menjadi yang pertama sejak 18 Juli. Aku siap.”


Badan riang wanita ini diterpa angin sore. Terasa sejuk dan menenangkan hati.
Ia longokkan kepalanya enggan, melirik bagian dalam rumah itu melalui jendela-jendela rendah.
“Sepi.”
Tak seperti biasanya, Ia tak ambil pusing.
Dalam hatinya ada kecewa juga. Berharap seorang tengah melakukan hal yang sama.
Melongok dan mengintip dirinya.
Lagi-lagi tak ambil pusing. Dilanjutkanlah langkahnya, menuju angkutan umum di depan sana.


Pintu rumah sembahyang itu terbuka lebar.
Belum ada banyak orang berebut memasukinya.
Si wanita menyambut tangan-tangan kecil pemberi amplop dan kertas, kemudian menerjang ruang dingin di depannya.
“Tenang seperti biasanya,” bibirnya tersenyum lemah.
Detik selanjutnya merupakan kejadian yang mengubah angin sore di hatinya.
Di kursi panjang bagian belakang tampak kepala manusia yang tidak asing baginya.
“Kemeja itu,” pikirnya.
Tangan si wanita rasanya lumpuh seketika.
Dalam sekejap rasa haru bercampur rasa bahagia.
Ia coba tahan hatinya, lalu menepuk bahu pemilik kepala dengan sembarang saja.
Pemilik kepala menoleh mencari. Mata keduanya bertemu.
Lalu diam.
Si wanita ingin berhenti dan memandanginya pemilik kepala itu berlama-lama.
Namun kekuatan besar seperti mendorong dirinya beranjak.
Terus melangkah angkuh seakan tidak pernah ada kisah.


Si wanita menemukan bangku lebih belakang.
Menghempaskan badannya dan mengetahui matanya sedikit basah.
Ia tengok kiri depan.
Pemandangan punggung si pemilik kepala yang sempurna.
Si wanita tidak sanggup mengelola buncahan itu.
Ia katakan pada Tuhannya, “Bapa. Hatiku tidak siap berdoa.”


Rumah sembahyang itu ruang upacara.
Kali ini si wanita mendapat bonus: dekorasi punggung si pemilik kepala.
Kepala si wanita tak berhenti berputar.
....mendengar pemimpin.
....mencerna.
....menyanggah tanpa suara
....melirik punggung si pemilik kepala
....memandangi sosoknya
Begitu seterusnya.
Kali ini si wanita benci dengan maklumat pemimpin upacara.
Di matanya, maklumat itu tak lebih dari kritikan tanpa dasar.
“Apa dia pikir semua peserta upacara itu sama semua kecenderungan berperilakunya?”
“Sok tahu dia.”
....sejenak terasa sedih.
Si wanita pandangi lagi punggung pemilik kepala, lalu bertanya. Lagi-lagi tanpa suara.
“Hei kamu.. Kalau suatu hari nanti kamu berdiri di situ, apa kau akan sama sepertinya? Akan hilangkah ilmu yang kau miliki hanya dengan maklumat yang serba simplifikasi? Jangan seperti itu. Belajarlah lebih banyak. Kenallah macam-macam orang lebih lekat.”


Apa ini?
Ada aliran di pipi.
Si wanita mengusap pipinya. Basah.
Berkali-kali.
Terus menerus.
Si wanita mulai khawatir gerakan mengusap tangannya akan menjadi pusat perhati.
“Ah.. Mulai lagi.”
Si wanita memaklumi.


Punggung itu tidak menengok.
Tidak menyapa.
Tidak mengetahui.
Si wanita menikmati.
Meyakini rasa perih dari pemandangan ironis di depannya.
Satu setengah jam.
Si wanita bersyukur doanya sore itu sungguh murni. Jujur. Tulus.
Semuanya berkat keberadaan punggung.
Juga berkat undak-undakan dengan meja besar di ujung ruangan sana, yang seakan memroyeksikan hal memilukan.


Berkat diumbar.
Lagu penutup.
Para peserta mulai brutal beranjak. Memperebutkan pintu keluar.
Si wanita mulai tidak terkendali.
Si wanita terlanjur nyaman dengan dekorasi punggung tadi.
“Jangan pulang. Biarkan saja seperti ini. Aku tidak siap menjelang jam-jam tanpa mimpi.”
Namun kaki-kaki mulai melangkah pergi.
Si wanita memandang iba kepada para peserta.
“Tolong. Jangan. Kalian harus tetap di sini.”
Namun ruangan itu kian riuh, lalu beralih berganti sepi.
Seruan si wanita terlalu kecil.
Pasrah.
Si wanita hanya pasrah.
Kerumunan peserta kini hilang.
Punggung di sana pun turut menghilang.
Seperti terbawa arus ganas di tengah lautan.
Si wanita duduk menghenyak. Lemas.
Menyelesaikan urusannya dengan mata dan hati.
Lalu berlari menuju patung di ujung kiri.
Berlutut..
Tidak tenang.
Air mata selalu menyerang.


Si wanita pulang.
Bersua dengan jalanan penuh angin di luar ruangan.
Menunduk.
Menghindari tatapan.
Lalu menikmati tundukan dahan.
“Alam tahu berduka. Alam pun tahu saat ini aku mencinta.”


Bel sepeda menyapa.
Terkesiap wanita tadi tengok asal suara. Kuat-kuat.
Ah. Bukan dia. Itu temannya.
“Hai. Maaf tidak bisa antar. Sepeda ini tidak ada boncengannya.” Kata pemilik sepeda tesenyum jahil.
Sapaan itu terasa lumrah. Si wanita sebisa mungkin menjawab tanpa memperlihatkan wajahnya.
“Tidak apa-apa. Terimakasih ya.”
Pemilik sepeda merona berubah mimik. Ada air yang sempat ia lihat.
Kali ini pemilik sepeda meminta diri, dengan senyum yang sama sekali berbeda dengan yang tadi.


Si wanita ditinggal.
Melanjutkan perjalanan sambil berharap wajahnya kembali segar sebelum ia tiba di rumah.
Rute ini sekan mengenali peziarahnya. Turut runduk menyediakan bala.
Dimintanya angin datang mengeringkan matanya.
Dipandangnya bulan, meminta dihibur hatinya.
Dua puluh menit kemudian.
“Aku pulang.”






Jakarta, kamar, 7 Agustus 2011
Pk 23.56







Pukul delapan lebih sedikit.
Ponsel berdering.
“Kamu pasti di mbak kembar.”
“Enggak”
“Oh... Pantesan.”
“Pantesan kenapa memangnya?”
“Tadi kutungguin di depan gereja. Kamu keluar duluan ya?”
“Enggak. Tadi aku keluar belakangan, pas gereja hampir kosong.”
“Ohya?? Kamu.....kenapa nungguin?”
“Walah...kok aku ga lihat? Pengen nungguin aja.”
“Makasih ya..”
“Hehee. Sama-sama. Kamu pulang jalan kaki ya?”
“Iya..  ...  ... .... Aku rindu kamu. Ah, maaf ya, aku bilang rindu.”
“Kok maaf? Gapapa kok. Yowis, aku mau rekreasi dulu.”

 ....
....
Mata si wanita basah lagi.
Teringat dirinya yang tadi meninggalkan gereja sambil mendunduk menghindari.
Angin, tolong datang dan keringkan pipi ini.



Comments

Popular Posts