Sakit dan Bunuh
Yang perempuan menyelesaikan tugasnya cepat-cepat.
Mewarnai bidang putih dengan biru muda dengan segera.
Mewarnai satu blok, satu blok, lalu melihat jam.
Membuka laptopnya, lalu menyusuri info-info dengan sambil lalu.
Membalas ini itu.
Lalu tersentak.
Pesan pendek lewat ponsel.
Temannya.
Lalu berdering.
Lalu berbincang.
Hanya setengah hati, walau yang diceritakan temannya sepenuh hati.
“Maaf. Aku punya janji menelepon yang lain”
Dalam hatinya resah.
Melihat jam.
Telah lewat setengah jam dari waktu yang biasa.
Mati.
Telepon mati.
Perempuan tadi menuntaskan yang lainnya.
Sikat gigi.
Ritual selamat pagi.
Ah.. tapi belum tuntas.
Diselesaikan saja nanti.
Menekan namanya.
Menahan napas.
Lalu dijawab.
Hanya dengan satu kata.
Entah senang atau kecewa.
seperti biasa, tanpa antusias.
“Hmmm”
Kata seseorang di seberang sana.
Telepon mati.
Perempuan tadi menuntaskan yang lainnya.
Sikat gigi.
Ritual selamat pagi.
Ah.. tapi belum tuntas.
Diselesaikan saja nanti.
Menekan namanya.
Menahan napas.
Lalu dijawab.
Hanya dengan satu kata.
Entah senang atau kecewa.
seperti biasa, tanpa antusias.
“Hmmm”
Kata seseorang di seberang sana.
Bergurau.
Tertawa.
Berseloroh. Lalu bahagia.
Bahagia?
BA-HA-GI-A?
Si perempuan tak pernah tahu.
Yang dirasakannya itu apa bahagia atau getir.
Yang pasti..
Ia senang mendengar suara dari seberang sana.
Rindunya sedikit terbalas sudah.
Hanya dengan jawaban patah-patah.
Sedikit.
Itu pun tak apa.
Tertawa.
Berseloroh. Lalu bahagia.
Bahagia?
BA-HA-GI-A?
Si perempuan tak pernah tahu.
Yang dirasakannya itu apa bahagia atau getir.
Yang pasti..
Ia senang mendengar suara dari seberang sana.
Rindunya sedikit terbalas sudah.
Hanya dengan jawaban patah-patah.
Sedikit.
Itu pun tak apa.
Yang di sana mulai segan.
“Aku ngantuk.”
Si perempuan di sini mengangguk.
mempersilakannya lelap.
Tapi si perempuan berkata jujur.
“Aku belum.”
Jujur?
JU-JUR??
Si perempuan tak tahu apakah sesungguhnya ia jujur.
Pun memang ia belum mengantuk.
Pun juga si perempuan hanya ingin merasakan saat itu.
L e b i h l a m a ...
“Aku ngantuk.”
Si perempuan di sini mengangguk.
mempersilakannya lelap.
Tapi si perempuan berkata jujur.
“Aku belum.”
Jujur?
JU-JUR??
Si perempuan tak tahu apakah sesungguhnya ia jujur.
Pun memang ia belum mengantuk.
Pun juga si perempuan hanya ingin merasakan saat itu.
L e b i h l a m a ...
Si perempuan gagal menahan egonya.
Tak peduli yang di sana sudah lelap atau tidak.
Dinyanyikannya lagu semasa kecil dengan riang.
Berharap sengau nyayiannya terdengar hingga sana.
Menghantar mimpi dan angan-angan.
Yang mungkin tidak dikenal dia yang di sana.
“Kenalilah.. Ini mimpi kekanakan yang mengontrol masa kecilku...
..indah bukan? Apa kamu punya mimpi? Apa mimpimu?
..apa idealmu? Jangan takut bermimpi.. Karena aku di sini..
..di sampingmu. Bersamamu. Memelukmu..”
Tak peduli yang di sana sudah lelap atau tidak.
Dinyanyikannya lagu semasa kecil dengan riang.
Berharap sengau nyayiannya terdengar hingga sana.
Menghantar mimpi dan angan-angan.
Yang mungkin tidak dikenal dia yang di sana.
“Kenalilah.. Ini mimpi kekanakan yang mengontrol masa kecilku...
..indah bukan? Apa kamu punya mimpi? Apa mimpimu?
..apa idealmu? Jangan takut bermimpi.. Karena aku di sini..
..di sampingmu. Bersamamu. Memelukmu..”
Si perempuan memanggil yang di sana.
Tak ada jawaban.
Si perempuan menhembuskan nafas.
“Pura-pura tidur ya? Atau betul sudah tidur?”
Masih hening.
Inginnya si perempuan terus berceloteh.
Namun yang keluar kali ini jujur.
Tulus dan bahagia dari dalam hatinya.
“Selamat tidur, Kebo..
..aku rindu kamu.”
Tak ada jawaban.
Si perempuan menhembuskan nafas.
“Pura-pura tidur ya? Atau betul sudah tidur?”
Masih hening.
Inginnya si perempuan terus berceloteh.
Namun yang keluar kali ini jujur.
Tulus dan bahagia dari dalam hatinya.
“Selamat tidur, Kebo..
..aku rindu kamu.”
Yang di seberang sana entah punya reaksi apa.
Si perempuan bertahan.
Mendengar nafas samar yang tercerna kabel telepon.
Mencoba membayangkan wajah yang di sana.
Lalu memandang..
Lalu tersenyum..
Lalu mencinta..
Si perempuan bertahan.
Mendengar nafas samar yang tercerna kabel telepon.
Mencoba membayangkan wajah yang di sana.
Lalu memandang..
Lalu tersenyum..
Lalu mencinta..
Sakit pun tak apa.
Hanya saja..
“Jangan kurung hati ini untuk menunaikan tugasnya.”
Si perempuan hanya ingin begitu.
Sampai kapanpun ia tak pernah tahu.
Si perempuan beranjak lelap.
Tapi suara telepon putus membangunkannya.
Kembali si perempuan terjaga.
Dalam hening.
Gelap.
Rindu.
Sakit.
Yang nikmat.
Pagi ini di sebuah komentar yang di sana bagi salah satu temannya via jejaring sosial:
“Too much love will kill you.”
Si perempuan menggeleng.
“Aku tak apa terbunuh. Kalau kamu? Apa karenanya kamu enggan dibunuh?
.....Ke mana perginya moto masa lalumu?”
Love, it’s me. Hurt me. (TBH)
Kamar, 27 Agustus 2011
pk. 13.08
................membunuhku perlahan
Comments
Post a Comment