Anehku, Anehmu


Aneh: tidak sebagai yang biasa kita lihat (dengar dsb); ajaib; ganjil.
Poerwadarminta. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.


Apabila Anda sempat memperhatikan kolom reaksi yang tercantum pada tiap tulisan pada blog ini, Anda bisa jadi merasa heran mengapa saya menaruh reaksi “aneh bin ajaib” sebagai salah satu pilihan reaksi. Bahkan kata tersebut saya letakkan paling depan, seakan saya mengarahkan pembaca pada referensi reaksi yang paling mungkin mereka rasakan atas tulisan saya, yakni: ANEH. Ya. Kata ‘aneh’ memang istimewa bagi saya. Sama istimewanya dengan orang yang membuat saya menyadari betapa istimewanya kata itu.. J



Alih-alih bersifat mencibir atau mengejek, bagi saya, kata ‘aneh’ memiliki konotasi positif. Jadi, apabila saya mengatakan Anda aneh, maka artinya saya memuji Anda. Demikian pula apabila Anda menganggap saya aneh, maka saya akan berjingkat-jingkat kegirangan. Jadi, jangan kecewa kalau Anda tidak berhasil membuat saya sedih dengan sebutan tersebut.  Lalu apa definisi aneh menurut saya? Mmm..saya sendiri tidak bisa mengonversikan konstruksi saya mengenai ‘aneh’ ke dalam rentetan kata. Sesungguhnya definisi saya tidak banyak berbeda dengan definisi yang disajikan Kamus Besar Bahasa Indonesua seperti yang telah saya kutipkan di atas. Hanya saya, ‘aneh’ pada konsep saya tidak perlu menyelipkan picingan mata nyinyir pada saat menyebutnya, melainkan melibatkan mimik wajah kagum atau senyum atau ekspresi kebingungan (bingungnya juga positif loh.)



Aneh itu unik. Berbeda, nyentrik, menonjol, dan menarik untuk ditindaklanjuti. Saya tidak mengerti apakah saya sesungguhnya secara pribadi memiliki kebutuhan untuk tampil berbeda sehingga merasa senang ketika di-aneh-anehkan. Kalaupun ya, saya juga tidak menyadari kapan kiranya nilai positif aneh tersebut mulai saya akui sebagai identitas saya. Pernah suatu kali, ketika habis berdandan dan mengenakan pakaian untuk dikenakan bepergian (milihnya aja satu jam), saya bertanya kepada adik saya, “Dek, udah aneh belom?” Setelah melirik sekilas, adik saya mengangguk dengan wajah mencela. Melihat responnya yang demikian, saya langsung merasa puas dan mengangkat tas saya, lalu membuka pintu. “Aku berangkat..” Si Dek Aga cuma nyengir sambil bengong.



Menarik kisah di waktu lampau, memang saya punya track record ketertarikan sendiri pada orang-orang yang saya anggap aneh. Saya sering merasa tertarik dengan laki-laki hanya karena tingkah lakunya yang tidak biasa (dan itu keren)! Sekali waktu di sebuah stasiun di Depok yang terdekat dari kampus, saya cengar-cengir sendiri sambil memperhatikan percakapan dua cowok ini.
A            : (mengalihkan pandangannya dari ponsel) Kata temen gue ada tawuran
B            : Ohya? Di mana?
A            : Deket stasiun. Makanya keretanya lama. (cuek, maju ke pinggir rel sambil mengangkat tangan ke pelipis. Mencondongkan badan ke arah Jakarta Kota seolah tengah mencari-cari sesuatu entah di batas cakrawala mana)
B             : (Memperhatikan rekannya, lalu ikut maju sambil melihat ke arah yang dilihat temannya penuh rasa ingin tahu)
A             : (masih asik memandangi dengan antusias)
B             : Memang di mana tawurannya?
A             : Stasiun Kalibata.
B             : ..................

Saudara-saudara sekalian! Sejak saat itu saya mengidolakan cowok atas nama A tersebut. Tapi kadar idola saya kepada si A itu baru setara stadium awal. Idola saya yang kagumi hingga detik ini adalah mahasiswa fakultas sebelah. Pertama kali saya bertemu dirinya adalah (juga) di stasiun, tapi stasiun kali ini letaknya ada di dekat rumah saya. Saat itu saya masih mahasiswi semester awal, ketika ada seorang pria datang dengan langkah gontai. Wajahnya tertutup rambut panjang lebat yang menjuntai ke depan. Dia tidak tinggi dan hanya mengenakan celana lusuh, menutupi kets yang juga tidak kalah lusuhnya. Bajunya hanya kaos putih biasa, hanya saja tulisan pada kaos tersebut bertuliskan nama kota yang terletak di Benua Amerika. Lalu satu. Lalu dua langkah. Kereta ekonomi datang, menjadi background yang menghiasi posenya dua detik kemudian. Pria ini menyibak segenap rambutnya dari sisi kanan, ditaruhnya semua di kepala sebelah kiri, lalu...KLIK! Rambutnya dijepit hairclip, seakan menolak angin kereta menghamburkan tiap helai rambutnya ke berbagai arah. AH! Sejak saat itu saya gila. Hari-hari saya penuh dengan upaya naik gerbong kereta yang sama dengan dirinya. Terbukti, pada semester-semester berikutnya saya mengetahui bahwa dirinya berkualitas dari sisi kepribadian, intelektualitas, dan......sisi gondrongnya. Hehehe.. Radar aneh saya bagus kan?


Tapi bukan kedua pria aneh itu yang menyadarkan saya pada konsep aneh seperti yang saya pahami sekarang. Pemahaman ini saya nyatakan dari pengalaman-pengalaman saya bersama dengan dirinya pada berbagai kesempatan. Kosa-kata ‘aneh’ tak pernah lepas dari perbincangan kami. Kami saling menyerukan kata ‘aneh’ pada satu sama lain. Jika sudah demikian, gelak tawa adalah mutlak. Kami seolah meniadakan kosa kata lain selain ‘aneh.’ Satu kata itu seakan bermakna banyak bagi kami. Rasanya, hanya dengan berdialog menggunakan satu kata itu, kami dapat saling memahami. Selesai. Tak perlu embel-embel diskusi. Kami bahagia. Hei kamu.. bahagiakah kamu? Kamu aneh. Aneh. Sangat aneh. Tapi aku aneh kok. Gapapa kan, Aneh? Tuh kan aneh. Kamu sih aneh. Aneh kaya sapi.



Dunia kami (saya dan orang yang aneh ini) kecil dan sistem yang berlaku adalah sistem aneh. Selayaknya dunia Smurf, keseharian kami yang lumrah menyimpan harta yang mungkin tidak bisa orang lain pahami, yakni: keanehan. Yang normal adalah yang aneh dan yang aneh adalah yang normal. Sejak saat itu saya menyadari. Saya berbeda. Asumsi tersebut seakan disetujui oleh orang-orang di sekitar saya. Wujud persetujuan yang paling mudah adalah di rumah. Demikian contohnya. Beberapa bulan yang lalu tembok ruang depan rumah kami dikerok dan akan diganti catnya. Karena saya hobi mencoret-coret dan melukis, saya menawarkan bantuan untuk mengecatnya.
Ibu                         : Mas, itu kapan mau dicat? Katanya sebelum masuk kerja.
Bapak                    : Iya ya. Besok Jumat.
Saya                       : (dengan penuh semangat sambil angkat tangan) AKU AJA YANG NGECAT!!
Bapak & Ibu           : (diam seribu bahasa. Langsung sibuk nonton tv)



Lihat? Sepertinya mereka sudah tahu selera anaknya tidak lazim. Sebagai info, kejadian tersebut terjadi di hari berikutnya dengan akhir yang persis sama. Mungkin mereka khawatir bahwa saya akan menyulap ruang depan menjadi semacam markas Batman di Gotham City atau menyerupai Kastilnya Princess Serenity. Mari kita lihat contoh lainnya:
Saya       : (keluar kamar dengan memakai rok setengah betis dan kaos pas badan)
Bapak    : Nah. Gitu kan bagus. (lalu mulai merengut suengit) ..daripada pake celana digulung..
Saya       : (Mulai tutup telinga)
Bapak    : ..kayak kebanjiran. Kaya mau ke sawah.
Ibu         : (ngeloyor bawa irisan kacang panjang)



Baiklah, saya kehabisan argumen mau bereaksi seperti apa kalau respon-respon keanehan itu datang dari orangtua saya. Kadang-kadang merasa miris juga kalau saya tidak digubris karena dianggap memiliki batas-batas di luar kewajaran mereka. Tapi menggulung celana panjang adalah hobi saya ketika berpakaian, bahkan sejak SMP. Kini, kebutuhan saya untuk menggulung celana bertambah sejak menyadari bahwa celana universal (baca: jeans) saya sudah tidak ada yang bisa dipakai. Jadilah kini saya melipat ujung celana bahan ibu saya yang masih tampak kebesaran ketika saya gunakan. Kini kegiatan melipat celana merambah ke celana-celana lainnya yang bahkan tidak kedodoran. Memangnya kenapa? Keren kok. Hehe..


Ya. Saya menikmati detik-detik ketika saya diperhatikan dari ujung kepala hingga ujung kaki oleh ibu-ibu di bus kota, bapak-bapak pedagang asongan di pinggir jalan, dan pak satpam mall yang gagal menyembunyikan mimik mencelanya kepada pengunjung yang satu ini. Pada kasus lain, saya menikmati reaksi teman saya yang ber “iihh..ihh..” ria atas pilihan yang saya buat pada contoh-contoh kecil di keseharian. Bagi saya, menjadi suatu hal yang aneh adalah kegembiraan, kebutuhan, dan kepuasan. Di balik semua tampilan itu, rasanya ingin membisikkan kepada semua orang yang saya temui, “Manusia itu berbeda-beda lho..” Itung-itung mengedukasi. Hihihi..



Dalam hitungan ras dan suku, bisa jadi saya mayoritas.
Dalam hitungan agama yang kalian buat, saya minoritas.
Dalam hitungan pola pikir dan perasaan, hai, salam kenal! Saya lebih minoritas.
Sayangnya Demokrasi berpihak pada yang mayoritas.
Common good, eh?




Mayoritas? Mayonnaise sih saya doyan.. :D
lets see through the surface.

Kamar, 22-24 Oktober 2011
01.34



Comments

Popular Posts