I Taste You, Rain


Di postingan saya yang lain, saya mengatakan bahwa saya menyukai hawa hangat dan sinar matahari. Ya, benar. Saya menikmati saat ketika terang menyapa saya di pagi dan siang hari, seakan memberi semangat kepada saya agar tidak kalah ceria bersinar di hari tersebut. Sebaliknya, saya cenderung membenci hujan. Adakah diantara kalian yang bertanya mengenai alasannya? Baiklah. Saya memiliki banyak alasan mengapa saya demikian menyukai sinar matahari. Alasannya bisa jadi terlihat sangat komparatif dan sinis. Jadi, bagi para pecinta hujan, jangan tersinggung yaa, ini murni tanggapan subjektif dari saya. Hihi.. Pertama, hobi saya adalah jalan kaki menyusuri trotoar. Maka saya membutuhkan hawa yang kondusif bagi saya berjalan kaki tanpa harus khawatir petir atau genangan becek yang mengotori celana. Kedua, sifat saya sudah cukup sensitif dan melankolis. Hujan dapat membuat energi suram saya lima kali lipat dibandingkan sinar matahari yang bagi saya terkesan menguatkan dan mengajak tabah. Ketiga, saya juga adalah tipe orang yang ribet ketika memutuskan bepergian ke luar rumah. Kalau bisa, setengah isi kamar saya akan saya gembol turut serta dalam perjalanan saya, dan musim hujan akan membuat kebiasaan itu lebih ribet dua kali lipat. Keempat, saya tidak bepergian dengan kendaraan pribadi. Kaki, bus, dan angkot adalah andalan saya. Pada saat hujan, bagian dalam bus regular akan terasa lebih lembab, sumpek, dan gerah daripada biasanya. Bajaj akan menaikkan tarifnya seenak jidat. Dan yang paling tidak menyenangkan adalah: repotnya menutup-membuka payung ketika naik-turun angkot, padahal  ukuran pintu angkot hanya sebesar Cu-Chi Tunnel. Nguk! Benar-benar membuat proses ber-angkot tidak efektif dan....basah. Pula kondisi yang demikian menyuburkan sifat curiga dan gemas antara satu penumpang dengan penumpang lainnya. Contohnya, “Ih! Ni orang payungnya kenapa gak dilipet sih? Kan basahnya sampe sini”, atau “Duh! Mbak ini mendingan ga usah masuk angkot deh! Udah roknya basah, mepet-mepet gue lagi!”


Well.. itu baru sebagian kecil dari ketidaksukaan saya pada hujan. Ada satu alasan lagi yang mungkin bisa bikin kalian mau muntah. Kata astrologi, yang menanungi Zodiak Leo itu matahari, jadi ya saya kompatibelnya sama matahari. Haaaahahaha!! Entah mana dulu informasi yang masuk otak saya: asumsi zodiak atau logika sebab-akibat hujan yang telah saya paparkan pada paragraf sebelumnya. Kalau ternyata asumsi zodiak datang lebih dulu, bisa jadi semenjak itu saya sinis dengan hujan dan begitu mencintai sinar matahari. Ahhh......tetapi bagaimanapun saya tidak bisa mengingkari bahwa Indonesia telah meninggalkan Bulan Agustus yang murah sinar matahari dan kini memasuki musim penghujan. Itupun kalau bisa dikatakan “musim” karena sejak pembahasan perubahan iklim, saya bingung juga menamakan periode ini apa namanya. Dan inilah Oktober. Selamat datang masa permisif. Permisif itu maksudnya kalau terlambat datang pertemuan, saya akan bisa menggunakan alasan terjebak hujan atau badai alih-alih terjebak macet. Heee.


Kontradiktif memang, namun sore ini bisa jadi hujan memiliki interpretasi yang lain di mata saya. Sore ini saya memutuskan berangkat bepergian dengan tidak mengenakan sepatu karet saya. Sepatu karet berwarna silver kesayangan saya sepertinya terlalu sering digunakan hingga saya baru menyadari adanya kerobekan pada beberapa sisinya. Maka sore ini saya mengenakan sandal berbahan kain dengan tiga kancing batok kelapa di sisi depannya. Yah, sepertinya saya harus mengakui kalau pilihan saya hari itu kurang tepat. Sepulangnya saya dari gereja, seorang teman menyeranta via ponsel, memberitahukan bahwa di lokasi keberadaannya sedang hujan deras dan meminta saya menemaninya misa jam selanjutnya di lokasi tersebut. Kebetulan hari itu saya hanya membawa uang pas-pasan untuk ongkos sehingga tidak dapat menyusul ke lokasi tersebut. Pula saya tengah berencana pulang cepat ke rumah untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda. Saya tolak ajakan tersebut sembari bersyukur di langit tempat saya berdiri belum menunjukkan tanda-tanda sedu atau tangisan. Maka saya berjalan riang, menikmati malam sunyi yang disajikan jalanan sepi di kawasan perumahan dekat gereja. Entah saya tadi sengaja atau tidak untuk membawa uang pas-pasan sehingga mau tidak mau harus jalan kaki, tapi pastinya saya memang hampir selalu ingin berjalan kaki pulang seusai misa minggu malam. Baru sepertujuh perjalanan saya kira, hingga rintik-rintik kecil mulai giat menggodai kulit saya. “AHH.. Cepat betul awan di sini ketularan flu”


Benar saja. Tidak sampai sepuluh menit, hujan turun. Langsung lebat. Payung sudah mejeng dengan cantiknya di atas kepala saya. Orang-orang tanpa payung berlarian tergesa-gesa, iri melihat saya sudah ‘memiliki gandengan.’ Saya tak sempat menaruh benci pada hujan yang memaksa payung saya untuk keras bekerja. Hanya ada satu pikiran saya, “Mungkin ini momentum baik bagi saya untuk berfikir, menelaah, dan bersendu ria sepanjang rute panjang ini setelah beberapa minggu terlena oleh hiruk pikuk tugas.” Maka dalam kepala saya telah terbersit keinginan untuk memasang headset pada ponsel, lalu memutar lagu-lagu tragis yang pastinya akan membuat malam gelap-sendu-basah ini kian sempurna. Sayangnya, sepuluh menit selanjutnya saya akan mengetahui defininisi “basah” itu sendiri tidak akan mengizinkan saya untuk mendengarkan lagu apapun selain lantunan terpaan hujan kepada atap-atap rumah angkuh yang tetap geming.


Hujan yang tadinya saya kira sudah memiliki label deras, ternyata masih belum cukup deras menurut Yang Punya Stok Air. Hampir seperempat perjalanan, dan saya merasa jalan kaki kali ini adalah suatu keputusan yang salah. Perjalanan saya dari gereja hingga ke rumah atau sebaliknya akan terjadi selama dua puluh lima menit apabila ditempuh jalan kaki dengan kecepatan sedang. Seharusnya saya naik bajaj atau entah apa, lalu membayar ongkosnya di rumah. Kalau sudah begini, saya harus bertahan (agak) lama menghadapi raungan hujan karena jalanan yang saya pilih tidak dilalui angkutan umum apa pun. Meskipun demikian dalam lubuk hati yang paling dalam saya masih memiliki keyakinan bahwa perjalanan ini akan menyenangkan, entah mengapa. Sementara saya terus membenamkan diri pada payung yang rasanya mulai memberontak menerpa angin, saya telah melalui banyak cipratan ban mobil. Kaki saya telah mencicip genangan yang menutup mata kaki, menyaring ribuan butir debu, tanah, dan sampah organik kering. Orang-orang yang berteduh di bawah kios-kios yang saya lewati, menatap saya dengan pandangan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada yang terkesan kasihan, ada yang terkesan bingung, menunjuk-nunjuk, pula ada yang menertawakan. Langkah saya masih ringan, meski was-was pada angin yang mulai riuh mendorong saya disertai kilat yang dengan baik hati menerangi jalan di depan saya. Di depan saya sudah tersaji: banjir pertama. Tukang nasi goreng yang tengah berteduh memandangi aksi saya lekat-lekat melewati banjir itu. Dengan perkasa dan acuh, banjir pertama setinggi limabelas senti dari mata kaki lewat begitu saja di belakang saya. Saya tak tau lagi bagaimana reaksi si pak tukang nasi goreng.


Hujan makin deras. Ketakutan saya dalam menempuh rute ini hanya ada satu, yakni suara yang diproduksi hujan ketika bertemu atap rumah yang terbuat dari seng. Rasanya seperti ada pesawat yang lewat di atas kepala, membumbung dan akhirnya menjadi backsound mimpi burukmu di suatu malam. Di tengah rasa ngeri saya ketika berada di tengah rumah-rumah beratap seng, saya mulai merasakan bagian bawah rok selutut saya sudah basah. Baiklah, ganas juga hujannya, tapi kini sudah setengah perjalanan. Banjir kedua menghadang. Kali ini seorang ibu penjual jamu di gerobak tetap gigih menentang hujan dan banjir. Rasanya senang dan terharu melihat perjuangannya dari belakang. Ah ibu ini, semoga dagangannya laris malam ini (meski saya agak ragu karena saya amati sedikit sekali ada orang yang bertahan di luar rumah atau sekedar menonton hujan di teras rumahnya malam ini). Medan yang saya lalui mulai menyempit. Saya mulai memasuki gang-gang jalan pintas yang mendekatkan saya pada rumah. Medan yang satu ini memiliki satu ciri khas yang menurut saya cantik ketika hujan. Coba tebak? AHYA! PAN-CU-RAN! Masuk sedikit ke ranah ekonomi masyarakat Jakarta yang tinggal di kawasan padat huni, pancuran adalah hal vital yang kurang dipikirkan ketika membangun rumah dengan akses gang kecil sebagai penghubungnya. Saya pernah hampir me-lakban salah satu pipa buangan sebuah rumah yang tidak diarahkan ke bawah (selokan), melainkan ke orang yang berjalan! Ya! Pipanya menyembul begitu saja tegak lurus dari dinding rumahnya. Apabila ada tekanan air kuat yang mengalir dari dalam rumah, ya siap-siap saja orang yang tengah berjalan di depan rumah itu akan basah kuyup oleh siraman kuah ikan arsik sisa jualan penghuni rumah tersebut. Begitulah.. pada musim hujan seperti ini, pancuran adalah sebuah polemik tersendiri. Rumah yang dibuat sejadinya di lingkungan kami malah seringkali tak memiliki manajerial pembuangan air hujan. Limpahan air hujan turun begitu saja ke jalan gang kecil, seakan ingin menggerus aspal hingga aus, kemudian berlubang. Pula ada buangan air hujan yang disatukan pada satu pancuran kecil di sudut genting sehingga curahan air yang jatuh luar biasa melimpah dan bunyinya, “Njrojog..njrojog..” Riuh benar. Dan kini, pancuran-pancuran semacam itulah yang menghantam payung saya. Satu rumah. Dua rumah. Tiga rumah. Setelah itu bocorlah payung saya, massa air yang sedemikian banyak turun dari atap-atap rumah menerobos celah kain payung dan menitik pada rambut saya. Lama-lama, seperti ada hujan lokal di bawah payung saya. Dan saya tertawa! Luar biasa tertawa di tengah ramai bunyi hujan. Sensasi ini menggembirakan! Memalukan, menyedihkan, sekaligus jenaka ketika itu. Seorang bapak yang tengah bersender pada pintu luar rumahnya memandangi saya. Melongo. Anehnya saya malah berjingkat, kian semangat menerobos malam yang.....basah. Tak ada lagi kesempatan bagi saya memasang headset pada ponsel. Awan tidak mau perhatian saya teralih. Suara hujan rupanya terlalu cemburu pada koleksi lagu di playlist saya.


Dua pertiga perjalanan, dan saya basah kuyup. Hanya pakaian dalam yang saya rasa masih terlindung dan kering. Saya kian merasa gila. Manusia berpayung tapi kehujanan. Saya sempat berpikir apakah lebih baik bila saya tanggalkan saja payung ini. Banjir ketiga muncul dan ini yang terparah. Setinggi setengah betis dan airnya sudah bercampur dengan air selokan di sekitarnya. Ragu. Ada keinginan untuk berputar arah, namun jalan berputar belum tentu tak berisiko terhadang banjir juga. Baiklah saya terjang. Sensasinya jauh lebih menyenangkan dari yang tadi. Ya, Anda sah-sah saja menganggap saya sakit jiwa atau apapun itu, tapi saya merasa menyatu. Saya seperti jijik, namun menikmati hangatnya air keruh hitam. Merasakan jemari kaki saya diliputi sampah. Terhenyak memandangi kecoa dan tikus merayap dan mencicit di sela-sela tembok. Saya hanya berdoa semoga tak perlu ada sesuatu kuning mengambang seperti ketika saya mengayuh badan dan menjinjing rok pada banjir sepaha  di jalanan depan SMA enam tahun yang lalu. Tinggal sedikit lagi dan saya tidak mau menyerah. Alih-alih menjadikan air-air itu musuh, saya justru bergurau dengan mereka, mencipak-cipk air dengan pasti sembari menyapa. Ah, tak ada apa-apanya dibandingkan mereka yang mengalami banjir seperti kesehariannya. Bagaiamanapun juga di luar sana ada yang membutuhkan banjir, ada yang membutuhkan air berlimpah, dan ada yang mengambil nikmat dari hujan.


Sedikit dari sisa perjalanan saya, orang-orang yang melihat saya memiliki kecenderungan untuk menggodai dan tertawa. Saya lewati mereka dengan riang. Banjir keempat mengajak saya mengayuh kaki lebih giat karena arusnya lebih kuat. Lima langkah lagi dan saya akan membuka pintu rumah saya. Ah betapa saya sangat mencintai sesi hujan malam ini. Perjalanan selama setengah jam ini (lebih lama dari biasanya karena membutuhkan banyak pengambilan keputusan)  saya yakini sebagai pelajaran. Malam hujan ini seperti minatur kehidupan. Sesuatu yang berat namun harus dijalani dengan berbagai pilihan dan konsekuensi. Mencelupkan diri pada kubangan pengalaman lalu merasakan hangatnya hambatan. Membiarkan dirimu terlanjur basah, lalu kemudian menertawai rasa takut. Melewati banyak cercaan orang, merasa malu dan ragu, kemudian pergi berlalu. Orang-orang semacam itu toh tidak akan turut serta dalam pencapaianmu. Bertemu dengan pejuang badai lainnya, lalu mengambil sari dari mereka yang jaya. Ah.....semuanya  kurasa...........nikmat..


Pintu pun kubuka dengan senyum lebar. Mereka yang di rumah hanya terpana dan bertanya.
Demikian pula ketika kita sampai di sana. Bukan jatah kita untuk meratap, tapi semua orang akan terpana dengan gumam penuh tanya.



Biarkan.


Biarkan.



Aku ada dalam harapan dan yakinku.



Hingga habis kalian cemooh aku.



Aku bertahan hingga kutemu dirimu di balik pintu.



Masalahnya hanya satu.



Bagaimana jika bukan hanya aku yang punya keras mau.



Tapi juga kamu. Impianmu. Yang kutakutkan tak sejalan dengan mimpiku.






Jakarta, 9 Oktober 2011
22.56
Kamar. Setelah mandi karena telah bersatu dengan selokan.
at this time, i taste you, rain..




hujan, hemat air dong! :)



Comments

Popular Posts